Minggu, 25 November 2012

Kehadiran Anak dalam Keluarga

"Sudah mendapat momongan belum, Mbak/Mas?" Demikianlah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada pasangan suami istri setelah menikah. Bagi sebagian besar masyarakat, kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Sebuah pernikahan seolah belum lengkap tanpa kehadiran seorang anak karena anak dianggap sebagai anugerah besar yang Tuhan percayakan kepada pasangan menikah. Semoga dengan membaca artikel ini, Anda dapat menolong orang lain dalam memandang kehadiran anak dalam keluarga mereka dari sudut pandang Alkitab.

ANAK ADALAH ANUGERAH BAGI KELUARGA KRISTEN

Dalam pernikahan, anak merupakan tanda utama dari cinta yang saling berbalas antara pria dan wanita. Anak merupakan anugerah utama bagi keluarga Kristen. Ini merupakan penyempurnaan trinitas dari segitiga cinta yang ada dalam lingkaran keluarga yang intim. Perwujudan cinta mereka yang sakral secara lahiriah ini merupakan berkat dari Allah. Ini merupakan salah satu tujuan utama pernikahan dan tujuan hubungan suami istri itu sendiri. Sebagai konselor Kristen, kita terkadang menjumpai situasi yang memaksa kita untuk memberikan nasihat tentang cara membesarkan anak dan pada kasus yang lain, menghibur orang yang kehilangan anaknya. Situasi-situasi yang lain mencakup pengalaman yang dialami oleh pasangan yang frustrasi saat berusaha untuk bisa hamil. Masalah ini dan masalah-masalah lainnya menjadi masalah yang sensitif dalam konseling Kristen.

Pada intinya, kehadiran seorang anak dalam pernikahan dapat memenuhi banyak kebutuhan mendasar manusia. Pertama, dorongan biologis dan evolusioner manusia untuk mereproduksi gen bagi generasi berikutnya. Kedua, anak merupakan ekstensi rohani dari diri seseorang. Warisan seseorang tidak hanya melampaui masa hidupnya; ingatan dan berbagai tradisi seseorang akan terus dilanjutkan dari generasi ke generasi. Bukan hanya ciri-ciri fisik yang diturunkan seseorang kepada keturunannya, melainkan juga idealisme, agama, tradisi, dan nilai-nilai mereka. Ketiga, secara emosional seorang anak dapat memberikan penghiburan. Tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari kasih orang tua terhadap anaknya. Semua kebutuhan akan pengasuhan ini bersifat timbal balik. Orang tua akan merawat anak pada masa kecilnya dan anak akan merawat orang tua pada masa tua mereka.

Yesus Memahami Kehadiran Seorang Anak

Secara teologis, kehadiran anak merupakan satu bagian dan cikal bakal dalam penciptaan kehidupan. Ketika sepasang suami istri membagikan cinta mereka yang kuat, Allah memberkati mereka dengan kehadiran-Nya. Pada saat pembuahan, Allah menjamah sepasang suami istri dengan penciptaan jiwa yang bersamaan. Seorang pribadi yang utuh, tubuh dan jiwa pada saat itu tercipta dan menjadi perwujudan akhir dari cinta kasih sepasang suami istri.

Anak benar-benar merupakan anugerah yang besar dari Allah. Hal ini terlihat di seluruh Alkitab ketika para orang tua Perjanjian Lama diberkati dengan kesuburan; kisah-kisah yang menggambarkan sukacita besar atas kehamilan dari zaman Sara hingga Elizabet, dan bahkan ketika Maria mengandung Yesus dengan cara yang ajaib juga menggambarkan hal ini. Sukacita atas kehamilan seseorang sangat dihormati di lingkungan orang-orang Kristen dan seharusnya menjadi masa yang begitu membahagiakan. Konseling rohani harus menekankan sukacita ini dan menentang masyarakat yang "mati", yang menganggap kehamilan dan anak-anak sebagai hambatan untuk kehidupan materialis seseorang. Sebaliknya, keluarga Kristen seharusnya dengan mantap menyatakan kepada masyarakat bahwa anak-anak adalah berkat dan bukan gangguan.

Kesimpulannya, Kristus berkata, "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku dan bahwa untuk masuk ke dalam kerajaan surga, seseorang harus menjadi seperti anak kecil." Bagaimana mungkin sebuah keluarga tidak ingin dikelilingi oleh anak-anak yang tidak berdosa seperti itu? (t/Setya)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: AIHCP Health Care Blog
Alamat URL: http://www.aihcp.org/blog/the-gift-of-children-to-the-christian-family/
Judul asli artikel: The Gift of Children to the Christian Family
Penulis: Mark Moran, MA, GC-C, SCC-C
Tanggal akses: 29 Agustus 2012

RAHASIA HIDUP BAHAGIA SEKALIPUN TANPA ANAK

Semua pasangan menikah tentu menantikan hadirnya seorang anak karena anak adalah penerus garis keturunan keluarga dan penolong pada masa tua. Selain itu, anak merupakan bukti ikatan cinta kasih suami dan istri. Karenanya, orang tua dengan sukacita mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anak mereka. Dan, jika mereka tidak memiliki anak, mereka merasa gagal. Lalu, bagaimana jika sudah menanti cukup lama dan melakukan berbagai usaha, tetapi tetap tidak kunjung memiliki anak? Semoga langkah-langkah berikut bisa menolong suami istri tetap bahagia, meskipun tanpa kehadiran anak.

- Pernikahan Memang Tidak Selalu Memiliki Anak
Salah satu tugas yang diberikan kepada manusia adalah "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi". Artinya, manusia harus berkembang biak. Akan tetapi, Kejadian 2:24 menunjukkan bahwa pernikahan menuntun kepada kesatuan, namun hasil dari kesatuan, yaitu anak, tidak dituliskan. Jadi, secara umum manusia memang harus berkembang biak, tetapi kesatuan suami istri lebih penting. Karena itu, jika suami istri tidak memiliki anak, jangan berpikir bahwa pernikahannya gagal. Ketika sebuah pernikahan tidak memenuhi maksud umum Allah untuk beranak cucu dan bertambah banyak, mungkin Allah mendesain pernikahan itu untuk tugas khusus.

- Mengenali Tugas Khusus

Daripada terus merasa gagal, tidak sempurna, atau bersalah; suami istri sebaiknya mencari apa maksud Allah dengan tidak memberikan keturunan kepada mereka. Adakah tugas khusus yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan?

Tuhan kadang mengizinkan sepasang suami istri tidak memiliki anak agar hidupnya menghasilkan buah yang banyak bagi Dia. Tuhan menugaskan mereka untuk menggerakkan organisasi-organisasi dan beberapa orang untuk melakukan proyek pembinaan karakter, pertolongan bagi ketidakadilan, atau pengentasan kemiskinan. Jika mereka memiliki anak, mereka belum tentu bisa melayani seefektif itu.

Meskipun begitu, tidak berarti tugas yang dilakukan pasangan tanpa anak harus dalam skala besar. Mereka bisa memberikan dukungan keuangan sambil memantau perkembangan jiwa anak-anak kurang mampu atau yatim piatu. Mereka tidak harus menarik anak-anak untuk menjadi keluarga mereka, mereka bisa mengunjungi anak-anak untuk berbincang dan melakukan pembinaan. Tugas khusus lainnya adalah melakukan riset-riset sulit dan penting untuk kepentingan umum. Misalnya, melakukan penelitian terhadap penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (seperti HIV/Aids, kanker, atau TBC) dan persoalan-persoalan masa depan (seperti menyusutnya pangan, energi, maupun kerusakan lingkungan). Tugas-tugas besar ini membutuhkan pencurahan waktu, tenaga, dan uang. Dan, orang-orang yang tidak memiliki anak akan lebih leluasa melakukannya. Dengan tugas khusus ini, walaupun sepasang suami istri tidak memiliki anak, mereka sedang menyelamatkan hidup banyak anak.

- Mengadopsi Anak
Pilihan untuk mengadopsi anak itu baik. Namun, perlu dipikirkan bagaimana mengasuh dan memeliharanya, bagaimana menjalin relasi dengan orang tua biologis mereka, dan kapan memberi tahu anak tentang identitasnya. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan bentuk komunikasinya, supaya anak adopsi tidak merasa terbuang.

Apabila Anda ingin mengadopsi anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya atau yang dititipkan di rumah yatim piatu, Anda perlu mengenali masa lalu si anak dengan baik dan mempertimbangkannya dengan matang. Karena, bisa saja orang tua biologis si anak berniat buruk dengan memantau dari jauh dan suatu saat melakukan pemerasan. Selain itu, Anda harus memerhatikan aspek legal. Buatlah akta adopsi sehingga kedudukan relasi orang tua anak menjadi kuat.

- Hidup Benar dan Tidak Terluka

Karena tidak memiliki anak, beberapa pasangan sering merasa terluka, marah kepada Tuhan, dan menyalahkan pasangan. Hal ini sangat tidak baik karena akan merusak diri sendiri dan pernikahan. Ketika pernikahan tidak dikaruniai anak, baik karena kemandulan salah satu pasangan atau keduanya, sebaiknya masing-masing mau menerima kenyataan dengan ikhlas dan saling menguatkan serta menerimanya sebagai kedaulatan Allah untuk mereka berdua. Pasangan suami istri harus saling menguatkan, lalu mencari tahu apa tugas yang mereka emban dengan ketidakhadiran anak tersebut. Seperti Zakharia dan Elisabet yang tetap hidup benar di hadapan Allah, meskipun tidak memunyai anak. Kehidupan yang benar akan membuat pasangan suami istri menjadi berkat bagi banyak orang. Mereka menjadi teladan bagi banyak pasangan yang bergumul dengan ketidakhadiran anak.

Jangan sampai meninggalkan pasangan karena ia mandul. Hanya orang-orang yang tidak dewasa, yang tidak memiliki kasih dan komitmen sejati, yang membesar-besarkan masalah itu dan meninggalkan pasangannya.

- Terus Berharap, Tetapi Tidak Memaksa

Bagi pasangan yang belum dikaruniai anak, tentu boleh berharap. Apalagi, jika hal itu terjadi karena alasan medis yang tidak bisa ditanggulangi. Tetaplah berharap sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah. Zakharia dan Elisabet pun terus berharap dan semakin tekun berdoa. Akhirnya, mereka mendapatkan anak. Dalam hal ini, yang penting adalah jangan memaksa Tuhan. Berdoalah dengan terbuka, tetapi tidak berfokus pada persoalan anak. Lanjutkan hidup yang berguna bagi sesama dan kehidupan.

- Menyiapkan Hari Tua
Daripada terus bersedih karena tidak memiliki anak, pasangan suami istri sebaiknya mempersiapkan masa tua mereka dengan baik. Karena itu, selama masih sehat, gunakanlah waktu sebaik mungkin untuk mempersiapkan keuangan untuk pembiayaan hari tua yang akan dilalui dengan tinggal di rumah keluarga/biaya panti jompo.

Selasa, 16 Oktober 2012

PERNIKAHAN DI MATA TUHAN

Dalam ceramah yang berkaitan dengan memilih pasangan hidup, kadang saya mendapat pertanyaan, "Bolehkah menikah dengan orang yang tidak seiman?" Sesungguhnya, jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada bagaimanakah kita memandang pernikahan itu sendiri. Jika kita memandang pernikahan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan, keharmonisan rumah tangga, menyambung keturunan, dan menjadi wadah yang sehat bagi pertumbuhan anak-anak, maka jawabannya adalah "Tidak boleh". Demikian juga sebaliknya. Jadi, bagaimanakah seharusnya kita memandang pernikahan? Pada dasarnya, kita harus memandang pernikahan dari sudut pandang kemuliaan Tuhan. Firman Tuhan dalam Efesus 1:5-6, 12 berkata, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita ... supaya kami yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya."

Hidup kita seyogianya menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Dan, bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, sudah selayaknyalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah pernikahan dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.

Pertama, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup. Kita mesti mengutamakan kehendak Tuhan saat memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami atau istri kita. Pada dasarnya, pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa "yang kita anggap baik" atau melakukan apa "yang TUHAN anggap baik". Mungkin orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik buat kita. Namun, ia tidak seiman dan tidak memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Nah, dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya. Apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita akan menaati-Nya? Pada akhirnya, keputusan apa pun yang diambil bergantung pada apakah kita dapat mengatakan bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita dapat mengatakan bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau lebih benar daripada perintah Tuhan.

Berkenaan dengan pernikahan, dalam 1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 tertulis dengan jelas perintah Tuhan untuk kita anak-anak-Nya, "... ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya. Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya ...." Nah, bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi daripada perintah Allah. Jadi, sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap saja itu bukanlah yang terbaik.

Kedua, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan. Adakalanya kita mengidentikkan "menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan" dengan kegiatan pelayanan. Sudah tentu keterlibatan dalam pelayanan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan hati Tuhan. Namun, pada akhirnya kita harus menyadari bahwa yang terpenting bukan kegiatan melainkan ketaatan. Kita bisa giat dalam pelayanan, tetapi belum tentu bisa taat dalam pernikahan. Meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian ketaatan, beberapa di bawah ini mungkin dapat mewakili sebagian di antaranya.

Apa yang kita lakukan ketika sesuatu yang kita inginkan tidak didapatkan, memperlihatkan seberapa besar ketaatan kita pada kehendak Tuhan. Apa yang kita perbuat seharusnya atas nama kasih. Ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang diberikan, melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan. Mungkin ada banyak hal yang ingin kita kerjakan dalam hidup ini, dan kita berharap pasangan dan bahkan anak-anak akan memberikan dukungan untuk meraih impian. Namun, adakalanya hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, malah kita yang dituntut untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi pasangan atau anak-anak. Ternyata, menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan acap kali terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih impian, melainkan dengan pengurbanan kita melepaskan impian. Saat kita melepaskan impian, Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang sungguh-sungguh membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.

Kesimpulan :

Sebagaimana hal lainnya dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi, persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan kita Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.

PERNIKAHAN DAN KELUARGA KRISTEN

Keputusan untuk menikah adalah keputusan yang memengaruhi masa depan. Untuk menikah, kita tidak cukup bermodalkan cinta, uang, dan dua manusia yang berbeda jenis kelaminnya. Untuk memiliki pernikahan yang dapat bertahan hingga maut memisahkan dan penuh keharmonisan, diperlukan persiapan yang matang. Dua pribadi yang saling mencintai harus memiliki kesiapan lahir dan batin, serta visi yang jelas. Dengan demikian, setiap persoalan yang akan datang dapat diatasi dengan lebih mudah dan bijaksana.

Pernikahan dibentuk berdasarkan inisiatif Tuhan. Melalui pernikahan, Tuhan hendak mengajarkan bagaimana hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya. Dengan pernikahan, maka terbentuklah sebuah keluarga yang masing-masing anggotanya memegang peranan penting untuk saling menolong, sehingga tiap-tiap anggota dapat bertumbuh, berkarya, dan mengaktualisasikan diri dengan baik.

Sayangnya, akhir-akhir ini banyak pernikahan dan keluarga Kristen yang mengalami perubahan, baik secara internal maupun eksternal. Beberapa pernikahan/keluarga Kristen yang kurang berakar di dalam Tuhan mulai meninggalkan prinsip-prinsip Alkitab. Dengan demikian, banyak pernikahan yang tidak berkenan bagi Tuhan.

Pernikahan yang dikenan Tuhan adalah pernikahan yang dibangun di atas dasar kebenaran yang alkitabiah. Pertama, pernikahan pada hakikatnya menyangkut dua dimensi: dimensi institusional dan dimensi personal. Oleh karena itu, pernikahan membutuhkan pengakuan publik dan pribadi, dan kedua dimensi ini perlu dijaga agar ada keseimbangan.

Alkitab mencatat bahwa hakikat pernikahan adalah penyatuan seorang pria dan wanita. Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam sehingga mereka dapat menjadi satu daging. Hawa diciptakan untuk menjadi penolong bagi Adam, dan hanya Hawa yang sepadan dengan Adam, bukan ciptaan yang lain.

Hakikat pernikahan yang kedua adalah kesetaraan dua pribadi di hadapan Tuhan, meskipun masing-masing memunyai peranan yang berbeda. Ketiga, pernikahan adalah penyatuan tubuh, roh, dan jiwa secara utuh. Keempat, pernikahan adalah relasi yang terbuka -- tidak ada rahasia di antara suami dan istri. Kelima, pernikahan adalah penundukan diri di bawah kuasa dan pimpinan Kristus.

Tuhan telah menyediakan pasangan hidup bagi masing-masing orang. Demikianlah yang terjadi dengan Adam ketika ia sedang tidur nyenyak, Allah menciptakan seorang istri baginya. Allah menghendaki agar pernikahan menjadi tempat bagi suami istri untuk saling melayani, saling mendukung dalam memahami maksud dan rencana Allah, dan tempat untuk mengenal Allah bersama-sama.

Hanya dalam pernikahanlah Tuhan Allah mengizinkan suami istri melakukan hubungan seks. Namun demikian, suami dan istri harus saling memahami arti seks dan memperlakukannya dengan benar sesuai maksud Tuhan. Seks perlu dibicarakan secara terbuka karena seks juga memunyai pengaruh yang kuat terhadap kepribadian dan cara hidup seseorang.

Dalam pernikahan yang dikenan Tuhan, suami dan istri diharapkan bisa menerima perbedaan (eksistensi, peranan, sosial, intelegensi, emosi, seks, dll.) di antara mereka berdua, dan saling melengkapi. Jangan sampai perbedaan dalam keluarga mengakibatkan kehancuran keluarga. Selain harus bersedia menerima perbedaan, suami istri seharusnya tidak menuntut pasangan untuk berubah, tetapi dirinya sendirilah yang harus berusaha untuk berubah dan menerima pasangan seutuhnya.

Untuk menciptakan pernikahan yang dikenan Tuhan, suami istri juga harus bisa menempatkan skala prioritas dalam keluarga, yaitu: Tuhan, suami istri, keluarga, pelayanan, dan masyarakat. Suami istri harus dapat berkomunikasi dengan baik sehingga tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. Pasangan suami istri diharapkan untuk bekerja sama dalam menciptakan keluarga yang bisa menjadi pusat pelatihan, pengajaran, kesaksian, dan perawatan yang utama bagi masing-masing anggotanya. Pernikahan Kristen seharusnya dapat membentuk anak-anak yang mengenal Tuhan, beriman, berprestasi, dan penuh kasih. Dengan kata lain, membentuk pernikahan yang berkenan kepada Tuhan berarti membentuk pernikahan yang dapat memelihara dan merawat jiwa-jiwa, pernikahan yang bisa menjadi tujuan utama untuk berlindung pada waktu badai, dan pernikahan yang mampu menyembuhkan jiwa yang terluka. Dengan demikian, pernikahan Kristen menjadi sarana untuk merasakan dan mengalami kehadiran Allah.

Agar pernikahan Kristen berjalan dalam kebenaran, perlu adanya komitmen suami istri untuk mengadakan ibadah bersama secara rutin. Dengan mengikutsertakan Tuhan dalam kehidupan pernikahan akan membuat pernikahan berjalan dengan damai sejahtera meskipun menghadapi masalah. Ibadah keluarga merupakan kegiatan utama dalam sejarah bangsa Israel sebelum mereka melakukan ibadah di bait Allah. Ibadah keluarga dapat membangun pernikahan Kristen, baik secara rohani maupun secara relasi. Tuhan menghendaki setiap pernikahan Kristen bersekutu dan berkomunikasi dengan Dia, serta melayani dan menyembah Dia. Ibadah keluarga sangat penting karena dengan melakukannya, berarti kita menyediakan tempat bagi Tuhan untuk hadir di tengah-tengah keluarga.

Selain cara berkomunikasi dan ibadah keluarga, kebiasaan makan bersama juga memberikan pengaruh positif terhadap pernikahan Kristen. Duduk dan makan bersama memberikan kesempatan bagi seluruh anggota keluarga, untuk saling berbagi beban dan ucapan syukur atas pertolongan Tuhan, sehingga seluruh keluarga terbangun dan semakin erat dalam kesatuan, baik sebagai keluarga di dunia maupun keluarga di dalam Tuhan. Perbincangan di meja makan bisa membuat pernikahan dan keluarga Kristen saling memerhatikan dan membangun satu sama lain.

Apabila semua hal di atas terlaksana dalam pernikahan Kristen, maka akan terjadi keharmonisan dan tidak akan pernah terjadi perceraian. Perceraian adalah ciptaan manusia, suatu refleksi dari keberdosaan dan penolakan manusia terhadap rencana semula ketika Tuhan menciptakan pernikahan. Tuhan membenci perceraian.

Selasa, 09 Oktober 2012

BAGAIMANA MEMPERTAHANKAN PERNIKAHAN KRISTEN YANG KUAT DAN SEHAT ?

Langkah 1 - Berdoa Bersama

Luangkan waktu setiap hari untuk berdoa bersama dengan pasangan Anda.

Saya dan suami mengetahui bahwa hal pertama pada pagi hari adalah saat yang paling tepat bagi kami untuk bersekutu. Kami meminta Allah untuk memenuhi kami dengan Roh Kudus-Nya dan memberi kami kekuatan sepanjang hari itu. Kebiasaan doa ini membuat kami berdua semakin dekat karena kami saling memerhatikan setiap hari. Kami memikirkan tentang apa yang akan kami lakukan sepanjang hari itu untuk pasangan kami. Kasih sayang kami melebihi hal fisik dan menjangkau sisi emosi dan rohani. Kasih sayang kami mengembangkan keintiman yang sejati satu dengan yang lain dan dengan Allah.

Barangkali, waktu yang lebih tepat bagi Anda dan pasangan adalah malam hari sebelum Anda berdua tidur. Anda tidak mungkin tertidur dalam keadaan marah setelah Anda berpegangan tangan di hadapan Allah.

Langkah 2 - Membaca Bersama

Luangkan waktu setiap hari, atau setidaknya sekali seminggu, untuk membaca Alkitab bersama.

Ini mungkin juga bisa digambarkan sebagai saat teduh. Sekitar 5 tahun yang lalu, saya dan suami mulai meluangkan waktu setiap akhir pekan pada pagi hari, untuk membaca Alkitab dan berdoa bersama -- saat teduh pasangan. Kami saling membacakan Alkitab, baik dari Alkitab ataupun dari buku renungan. Kemudian, kami menghabiskan waktu beberapa menit untuk berdoa bersama.

Kami telah berkomitmen untuk bangun sekitar 30 menit lebih awal untuk melakukan hal ini, dan kebiasaan ini benar-benar menjadi saat yang sangat indah dan intim, yang menguatkan pernikahan kami. Kebiasaan ini berlangsung selama 2,5 tahun, namun betapa hebat dampak yang kami rasakan ketika kami menyadari bahwa kami telah membaca seluruh Alkitab bersama!

Langkah 3 - Membuat Keputusan Bersama

Berkomitmenlah untuk membuat keputusan penting bersama.

Saya tidak membahas tentang memutuskan apa yang akan disantap saat makan malam. Keputusan-keputusan utama, seperti masalah finansial, sangat baik diputuskan bersama pasangan. Salah satu area ketegangan terbesar dalam pernikahan adalah lingkup keuangan. Sebagai pasangan, Anda harus membicarakan keuangan Anda dengan dasar yang rapi, bahkan sekalipun salah satu dari Anda lebih baik dalam menangani aspek praktisnya, seperti membayar tagihan dan menyeimbangkan buku keuangan harian. Menutup-nutupi pengeluaran akan lebih cepat memecah belah sebuah pasangan ketimbang hal-hal lainnya.

Jika Anda setuju untuk membuat keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak tentang bagaimana keuangan ditangani, cara ini akan menguatkan kepercayaan antara Anda dan pasangan Anda. Pula, Anda tidak akan mampu menyimpan rahasia jika Anda berkomitmen untuk membuat semua keputusan keluarga yang penting secara bersama-sama. Langkah ini adalah salah satu cara terbaik untuk mengembangkan rasa percaya sebagai pasangan.

Langkah 4 - Datang ke Gereja Bersama

Terlibatlah dalam kegiatan gereja bersama pasangan.

Carilah tempat ibadah yang dapat Anda datangi dengan pasangan Anda. Pilihlah jenis pelayanan yang cocok bagi Anda berdua, dan bersahabatlah dengan orang-orang Kristen yang lain. Dalam Ibrani 10:24-25, Alkitab mengajarkan bahwa salah satu cara terbaik agar kita dapat saling mendorong dalam kasih dan perbuatan baik adalah dengan tidak menjauhkan diri dari persekutuan dengan anggota Tubuh Kristus.

Langkah 5 - Tetaplah Berkencan

Sediakan waktu-waktu khusus dan rutin untuk terus mengembangkan kemesraan Anda.

Setelah menikah, pasangan biasanya mengabaikan waktu-waktu untuk bermesraan, khususnya setelah memiliki anak. Tetap meluangkan waktu untuk pergi berdua mungkin memerlukan rencana strategis, tetapi ini penting untuk memelihara pernikahan yang kuat dan intim. Menjaga cinta kasih tetap menyala-nyala juga akan menjadi bukti jelas akan kekuatan pernikahan Kristen Anda.

Kesimpulan :

Kelima langkah di atas membutuhkan usaha yang nyata dan berkomitmen dari Anda. Jatuh cinta sepertinya tidak membutuhkan usaha, tetapi untuk menjaga pernikahan Kristen Anda tetap kuat membutuhkan upaya yang terus-menerus. Berita baiknya adalah membangun pernikahan yang sehat tidak selalu rumit dan sulit, apabila Anda memutuskan untuk mengikuti beberapa prinsip dasar di atas.

KOMITMEN DALAM PERNIKAHAN

Salah satu ciri pernikahan kristiani adalah memiliki komitmen secara total. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata komitmen berarti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Pernikahan kristiani bukanlah hubungan "kumpul kebo" tanpa ikatan, melainkan hubungan seorang pria dan wanita yang diikat oleh perjanjian seumur hidup dan komitmen secara total yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hubungan pernikahan itu menggambarkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya (baca Efesus 5:21-23). Kristus telah mengurbankan diri-Nya dan mengasihi umat-Nya tanpa pamrih, serta berjanji untuk selalu menyertai umat-Nya (Matius 28:20). Dalam 1 Korintus 13:4-7, Rasul Paulus mengajarkan agar suami istri saling mengasihi (Efesus 5:28-30) seperti Yesus Kristus yang telah mengasihi umat-Nya. Suami istri yang bersatu dengan Kristus adalah satu anggota tubuh Kristus (1 Korintus 12:27).

Komitmen total seperti yang telah Yesus Kristus lakukan dalam kehidupan dan kematian-Nya, hendaknya diterapkan juga dalam pernikahan kristiani. Suami istri hendaknya berkomitmen untuk saling mengasihi dan memerhatikan pasangan, apa pun yang terjadi.

Elizabeth Achteimeier dalam buku "The Committed Marriage" menyatakan pernikahan kristiani seharusnya memunyai komitmen dalam enam hal: komitmen secara total, komitmen untuk menerima, komitmen secara eksklusif, komitmen terus-menerus, komitmen yang bertumbuh, dan komitmen yang berpengharapan. Dengan adanya komitmen dalam keenam hal ini, kehidupan pernikahan suami istri akan lebih berhasil.

1. Pernikahan kristiani harus memiliki komitmen secara total. Hal ini berarti pasangan menyerahkan diri secara menyeluruh dalam hubungan pernikahan. Dengan demikian, masing-masing pihak berprinsip: "Apa pun yang terjadi, kita akan tetap mempertahankan pernikahan ini." Dedikasi secara total berarti bersedia mendampingi meskipun dalam hal-hal yang tidak menguntungkan, mau menyelesaikan masalah, dan melakukannya dengan pertolongan Kristus yang menyertai kedua pasangan. Pernikahan yang berhasil tidak otomatis terwujud, ini tercapai hanya karena anugerah Allah dan hasil upaya bersama dari suami istri.

2. Pernikahan kristiani adalah pernikahan yang memunyai komitmen untuk menerima. Suami mau menerima keberadaan istri sepenuhnya, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pasangan kita itu bukan Anda, ia diciptakan menurut rupa Allah bukan rupa kita. Jadi, jangan berusaha untuk menjadikannya seperti kita. Dan, pasangan kita diharapkan untuk terus berubah menyerupai Kristus, bukan menyerupai kita. Maka dari itu, menerima apa pun keberadaan pasangan harus dilakukan dengan komitmen yang sungguh.

Selain menerima berbagai kelebihan pasangan, belajar untuk menerima ketidaksempurnaan pasangan juga harus terus dilakukan. Namun, ini tidak berarti kita harus menerima kebiasaan buruk atau perbuatan kriminal pasangan kita. Kedua hal itu harus diubah atau bahkan dibuang. Selain menerima, dalam pernikahan kristiani juga harus memberi. Tetaplah memberi, sekalipun Anda berpikir pasangan Anda tidak layak menerima kasih Anda. Sikap seperti ini mencerminkan kasih Kristus yang Ia berikan kepada umat yang sebenarnya juga tidak layak menerima kasih-Nya. Kasih yang Yesus Kristus ajarkan adalah kasih yang diberikan tanpa paksaan dan diwujudkan dalam bentuk penyerahan. Kasih diwujudkan dalam hal memberi. Ini mencakup pemberian kebebasan kepada pasangan untuk menjadi dirinya sendiri, kreatif, unik, dan berkembang.

3. Pernikahan kristiani memiliki komitmen secara eksklusif. Dalam pernikahan kristiani, suami istri tidak boleh dibagi dengan orang lain. Masing-masing pihak, suami dan istri, tidak diperbolehkan melakukan zinah dan memiliki wanita atau pria idaman lain, serta melakukan hubungan homoseksual atau lesbian (Keluaran 20:14 dan Roma 1:26-27).

Dalam kenyataan, banyak pernikahan yang hancur karena hadirnya pihak ketiga. Oleh karena itu, jangan biarkan pihak ketiga hadir dalam pernikahan Anda, bahkan sekalipun Anda tidak melakukan hubungan intim dengannya. Juga, jangan biarkan kehadiran anak memisahkan kesatuan Anda dengan pasangan. Jangan menggunakan anak sebagai alasan untuk membiarkan suami merasa kesepian. Jika hal ini terjadi, suami akan lebih mudah mencari hiburan dari orang lain.

4. Pernikahan kristiani memunyai komitmen yang terus-menerus. Pernikahan itu seumpama seorang bayi yang terus mengalami perkembangan. Oleh karena itu, pernikahan kristiani menuntut adanya komitmen yang terus-menerus, untuk menjaga kehidupan pernikahan di tengah berbagai perubahan yang terjadi.

Seperti kasih Kristus kepada umat-Nya yang tidak hanya sekali, namun terus berkelanjutan, demikian jugalah hendaknya komitmen dalam pernikahan kristiani -- tidak berubah, namun justru semakin kuat dalam setiap tahap kehidupan.

5. Pernikahan kristiani memiliki komitmen yang bertumbuh. Komitmen ini semakin lama semakin dalam dan dewasa karena akan melewati liku-liku perjalanan hidup bersama-sama. Proses pendewasaan pernikahan terkadang mudah dilalui dan terkadang sulit ditempuh, sehingga pasangan terkadang perlu memperbarui komitmen sebelumnya dan terus-menerus mempererat hubungan dengan pasangannya.

Pernikahan yang bertumbuh hanya dapat diciptakan oleh pasangan yang mandiri, yang tidak lagi bergantung kepada orang tua, dan yang tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kepuasan emosional dan seksualnya. Suami istri memang sebaiknya saling bergantung, namun bukan berarti masing-masing pihak dituntut untuk memenuhi seluruh kebutuhan pasangannya baik secara jasmani, rohani, dan kejiwaan. Hanya Tuhan yang sanggup memberikan kepuasan total bagi kita. Oleh karena itu, suami istri perlu mengembangkan diri semaksimal mungkin sesuai dengan rencana Tuhan, sehingga hidup mereka dapat berarti dan dapat merasakan kepuasan hidup.

Pernikahan kristiani yang bertumbuh juga hanya dapat terjadi dalam pernikahan pasangan dewasa. Artinya, itu hanya akan terjadi dalam pernikahan yang saling memerhatikan kepentingan pasangan, peka terhadap pasangannya, mau berkorban demi kebaikan pasangan, bertanggung jawab, menjaga harga dirinya sendiri, dan mengembangkan talenta diri. Itulah dasar kedewasaan yang sejati. Dengan kata lain, pernikahan yang berkembang tidak lagi memikirkan "saya", tetapi "kita". Masing-masing perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasangan dalam berbagai hal, seperti kebiasaan, waktu, emosi, dan cinta kasih. Seandainya suami lebih senang bekerja hingga larut malam, seyogianya suami tidak selalu tidur terlalu malam agar istri tidak merasa kesepian karena harus tidur sendirian. Dalam hal ini, kedua belah pihak harus memiliki kebijaksanaan untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya. Demikian juga dalam hal hubungan kita dengan anggota keluarga yang lain.

Pernikahan yang berkembang bukanlah pernikahan yang terasa manis pada beberapa bulan pertama pernikahan saja, melainkan pernikahan yang bahkan semakin manis seiring berjalannya waktu. Untuk mencegah timbulnya rasa jenuh dalam pernikahan, Anda perlu secara teratur menyediakan waktu khusus untuk memperbarui kasih Anda. Misalnya dengan berlibur bersama, membiasakan diri untuk berbagi cerita setiap hari, atau mengikuti program yang dapat memupuk kasih suami istri (marriage enrichment). Hal ini sesuai dengan isi firman Tuhan dalam Efesus 4:13 (versi BIS), "Dengan demikian kita semua menjadi satu oleh iman yang sama dan pengertian yang sama mengenai Anak Allah. Dan kita menjadi orang-orang yang dewasa yang makin lama makin bertambah sempurna seperti Kristus."

6. Pernikahan kristiani memiliki komitmen yang berpengharapan. Meskipun kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada masa depan kita, namun tetaplah memiliki pengharapan di dalam Kristus. Suami/istri yang merasa pernikahannya tidak berpengharapan, tidak akan berusaha untuk mempertahankan pernikahannya lagi, sehingga pernikahannya akan hancur dengan lebih cepat. Tugas kita dalam pernikahan adalah memberikan diri kita kepada pasangan dalam kasih dengan penuh pengharapan, sama seperti Yesus Kristus yang memberikan diri-Nya kepada umat-Nya. Pengharapan kita semata-mata hanya karena Kristus dan di dalam Kristus.

Bagaimana dengan komitmen Anda berdua terhadap pernikahan Anda? Selamat berbahagia dan tetaplah pegang teguh komitmen Anda!

Selasa, 02 Oktober 2012

TUJUAN DAN HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTIANI

Pada umumnya, pasangan-pasangan yang akan menikah menjadi sibuk saat mempersiapkan perayaan pernikahan. Agar acara pemberkatan dan resepsi pernikahan berjalan lancar, mereka rela mengerahkan segenap daya, tenaga, dan dana. Prosesi pemberkatan dan resepsi tersebut tentu akan segera berlalu, namun mereka harus terus mempertahankan pernikahan seumur hidup.

Untuk mempertahankan pernikahan, setiap pasangan harus memahami hakikat dan tujuan pernikahan. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak terlalu serius dalam mengerahkan segenap kemauan, akal budi, daya, dan dana untuk memahami hakikat dan tujuan pernikahan Kristen dengan baik dan jelas. Jika seseorang tidak memunyai visi dalam pernikahan, maka sesungguhnya dia telah melakukan tindakan "bunuh diri". Cepat atau lambat, pernikahan dan cintanya akan layu dan mati. Untuk menghindari hal ini, saat berpacaran atau sebelumnya, sebaiknya Anda menanyakan tujuan hidup dan pernikahan yang ada di benak orang yang Anda sayangi. Diskusikan itu dengan konselor untuk membantu Anda mengerti, apakah visi itu cukup jelas saat memasuki pernikahan Anda atau tidak.

Hakikat Pernikahan


Pernikahan yang baik adalah komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan dan sesama. Pernikahan yang baik didasarkan pada kesadaran bahwa pernikahan ini adalah kemitraan yang mutual. Pernikahan yang baik juga melibatkan Tuhan secara proaktif di dalam setiap pengambilan keputusan, sebab pernikahan adalah sebuah rencana ilahi yang istimewa. Dengan demikian, pernikahan seharusnya tetap dijaga dan dipertahankan di dalam kekuatan Roh yang mempersatukan kedua insan.

a. Pernikahan adalah Suatu Perjanjian ("Covenant")

Secara simbolis, orang yang menikah mengucapkan janji nikahnya di gereja. Secara sederhana, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua individu/kelompok atau lebih. Perjanjian pernikahan adalah mengasihi ("to love") dan dikasihi ("to be loved"). Menurut Balswick, ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari perjanjian yang Allah tetapkan. Pertama, perjanjian itu sepenuhnya merupakan tindakan Allah, bukan sesuatu yang bersifat kontrak. Komitmen Allah ini tetap berlangsung, tidak bergantung pada manusia. Kedua, Allah menghendaki respons dari manusia. Namun, ini bukan berarti perjanjian tersebut bersifat kondisional. Perjanjian itu tetap menjadi satu perjanjian yang kekal, terlepas dari apakah umat Tuhan melakukannya atau tidak. Ketiga, Allah menyediakan berkat-berkat dan keuntungan bagi mereka yang menuruti perjanjian tersebut. Manusia diberi kebebasan untuk memilih, untuk hidup dalam perjanjian itu atau menolaknya.[1]

Menurut R.C. Sproul, pernikahan bukanlah hasil dari satu perkembangan kebudayaan manusia.[2] Institusi pernikahan ditetapkan seiring dengan Penciptaan itu sendiri. Senada dengan itu, John Stott berkata, "...perkawinan bukanlah temuan manusia. Ajaran Kristen tentang topik ini diawali dengan penegasan penuh kegembiraan bahwa perkawinan adalah gagasan Allah, bukan gagasan manusia... perkawinan sudah ditetapkan Allah pada masa sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa."[3]

Jika demikian, pengertian di atas mengandung tiga implikasi penting. Pertama, setiap orang yang mau menikah seharusnya memberikan atensi pada pengenalan eksistensi Allah sebagai pendiri lembaga ini. Kedua, memberikan Allah otoritas penuh dalam memimpin lembaga ini sehingga komunikasi suami-istri bersifat trialog.[4] Artinya, Allah dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Ketiga, pernikahan diikat oleh komitmen seumur hidup, sebab perjanjian itu bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah sendiri. Dengan memahami pernikahan sebagai satu ikatan perjanjian dengan Allah, maka calon suami istri disadarkan agar senantiasa bergantung pada kekuatan Allah dalam menjalani pernikahan.

b. Pernikahan adalah Kesaksian

Dalam Efesus 5:32, Paulus menggambarkan hubungan suami dan istri seperti hubungan Allah dan jemaat-Nya. Artinya, dengan menikah, orang Kristen dipanggil masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yakni menyaksikan Kristus melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan komunikasi suami istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan.

Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak untuk menjadi suami atau istri dan menjadi orang tua. Selanjutnya, model itu akan terus terbawa ke dalam pola mereka mendidik anak-anak kelak. Pernikahan yang sehat dan berfungsi, pada umumnya, akan menghasilkan anak-anak yang sehat pula. Jadi, setiap mereka yang akan menikah dan menjadi orang tua perlu menyadari konsekuensi ini -- dipanggil menjadi reflektor kasih Allah bagi anak-anak. Dalam tulisannya, "Parenting: A Theological Model", Myron Charter [5] menjabarkan tujuh dimensi dari kasih Allah Bapa yang harus direfleksikan setiap orang tua, yakni: sikap yang penuh peduli, tanggung jawab, disiplin, murah hati, respek, pengenalan, dan pengampunan.

Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan banyak muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. Kebahagiaan itu justru ditemukan di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi cinta kasih Kristus. Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan kita akan kita peralat demi mencapai kebahagiaan itu.[6] Itu sebabnya, orang yang menikah dengan tujuan bahagia justru menjadi yang paling tidak bahagia dalam pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak mengakibatkan perceraian, dengan alasan ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya.

Heuken [7] menyebutkan beberapa tujuan lain yang tidak kuat sebagai landasan untuk menikah. Pertama, demi keperluan psikologis, yakni supaya merasa tidak sendirian atau kesepian. Kedua, demi kebutuhan biologis, yakni agar dapat memuaskan nafsu seks secara wajar. Ketiga, demi rasa aman, yakni supaya memunyai status sosial dan dihargai masyarakat. Keempat, agar memunyai anak. Ini semua bukan merupakan alasan atau tujuan yang kuat mengapa seseorang menikah.

Dalam berumah tangga, kita akan mengalami begitu banyak keadaan dan situasi yang tidak diharapkan. Misalnya, pasangan Anda gagal dalam pekerjaan. Pasangan Anda menyeleweng. Pasangan Anda sakit atau cacat. Kondisi itu pasti tidak menyenangkan. Tetapi kalau Tuhan mengizinkan hal-hal tersebut terjadi, kita perlu belajar dari hal-hal tersebut. Lewat situasi dan keadaan itulah cinta kita diuji, apakah kita tetap berpegang teguh pada janji pernikahan kita dan setia kepada pasangan kita sampai kematian memisahkan. Untuk itu, mari kita pahami tujuan pernikahan Kristen yang akan menguatkan tiang pernikahan kita.

1. Pertumbuhan
Pertumbuhan yang diharapkan adalah agar suami istri dapat melayani Allah dan menjadi saluran berkat bagi sesamanya. Agar pernikahan itu bertumbuh, maka ada dua syarat yang harus dimiliki setiap pasangan.
  • Masing-masing sudah menerima pengampunan Kristus, sehingga mampu saling mengampuni selama berada dalam rumah tangga, yang masing-masing penghuninya bukanlah orang yang sempurna. Usaha diri sendiri pasti akan gagal.
  • Kemampuan beradaptasi, artinya masing-masing tidak memaksa atau menuntut pasangannya, sebaliknya mampu saling memahami dan memberi. Masing-masing menjalankan peran dengan baik, serta mampu menerima kelemahan dan kekurangan pasangannya.

2. Menciptakan Masyarakat Baru Milik Allah

John Stott mengatakan bahwa pernikahan dibentuk Allah dengan tujuan untuk menciptakan satu masyarakat baru milik Allah ("God's new society") -- satu masyarakat tebusan yang dapat menjadi berkat dan membawa kesejahteraan bagi sesamanya.[8] Wadah yang Allah pilih sebagai sarana menyejahterakan manusia tebusan-Nya di dunia ini adalah keluarga. Rencana ini telah Allah tetapkan jauh sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Untuk itu, Allah pertama-tama memilih keluarga Abraham, Ishak, Yakub, dan seterusnya sampai akhirnya dalam keluarga Yusuf dan Maria yang melahirkan Yesus. Demikianlah sampai hari ini, rencana Tuhan bagi setiap pasangan Kristen adalah agar pasangan itu menghasilkan anak-anak perjanjian (anak-anak Tuhan) yang memunyai tanggung jawab untuk merawat dan mengurus bumi ciptaan-Nya ini.[9] (Kejadian 1:26,28)

Di samping itu, melalui setiap keluarga, Allah menghendaki agar setiap suami istri melahirkan keturunan ilahi (anak-anak tebusan Kristus. Baca Maleakhi 2:14-15).[10] Karena itu, berdasarkan prinsip di atas, saya berkeyakinan bahwa setiap anak dalam pernikahan kami adalah anak-anak (karunia/titipan) Tuhan. Mereka bukan baru menjadi anak-anak Tuhan saat mereka dibaptis atau sesudah besar, tetapi sejak dalam kandungan mereka adalah benih ilahi yang Allah percayakan kepada keluarga kami.

Keyakinan ini sangat memengaruhi sikap kita dalam menghargai dan mendidik anak-anak. Juga akan membuat kita memprioritaskan keluarga dengan benar. Tujuan kita adalah mendidik mereka agar menjadi anak-anak Tuhan yang tidak hanya menaati bapak dan ibu mereka secara daging, tetapi juga taat kepada Bapa di surga. Kita juga sungguh-sungguh berusaha membangun kehidupan anak-anak kita, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Tetapi jika Tuhan mengizinkan keluarga kita tanpa seorang anak, rencana Tuhan pun tetap sama indahnya. Dia mempunyai rencana tersendiri bagi keluarga yang tidak dikaruniai anak. Keluarga yang demikian perlu bergumul, mencari tahu apa yang dapat diperbuat untuk menyenangkan hati Tuhan, meski belum ada buah hati. Jika ingin mengadopsi anak, sebaiknya berkonsultasi terlebih dulu dengan konselor.

Anak merupakan upah atau berkat Tuhan bagi keluarga yang dikenan-Nya untuk menerima berkat itu. Tidak memiliki anak bukan berarti dikutuk atau tidak mendapat berkat Allah. Suami istri yang tidak memiliki anak pun, tetap merupakan keluarga yang di dalamnya Allah memiliki rencana tersendiri.

[1] Balswick & Balswick. "The Family: A Christian Perspectiveon the Contemporary Home." Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1991, p.23.
[2] Sproul, R.C., "Discovering the Intimate Marriage." Minnesota: Bethany Fellowship, Inc., 1975, p. 113-114.
[3] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani." Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1984, hal. 368.
[4] Scheunemann, D., "Romantika Kehidupan Suami-Istri." Malang: YPPII, 1984.
[5] Charter, Myron. "Parenting: A Theological Model", Journal Psychology and Theology. Vol.6, No.1 (1977), p.54.
[6] Heuken, "Persiapan Perkawinan." Hal. 24-25.
[7] Heuken, "Persiapan Perkawinan." (Yogjakarta: Kanisius), hal. 18-19.
[8] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani." Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984.
[9] Yakub, Susabda. "Pastoral Konseling" - jilid 2. (Malang: Gandum Mas)
[10] Bukan berarti tanpa anak, keluarga tidak lengkap. Pernikahan yang dimaksud di sini adalah suami dan istri.

Senin, 19 Maret 2012

KENYATAAN TENTANG PERNIKAHAN


Setelah sepasang kekasih menjalin hubungan spesial dan merasa cocok, keputusan untuk menikah tentu menjadi langkah selanjutnya.
Namun, meskipun sepasang kekasih sudah melewati masa berpacaran yang lama, masih saja ada banyak fakta tentang pasangan yang baru diketahui setelah menikah. Seperti apakah pernikahan itu? Apa peran suami dan istri yang benar dalam pernikahan?

Para pendeta dan konselor pernikahan berulang kali mendengar pernyataan yang tidak benar dari suami dan istri. Inilah kenyataan tentang pernikahan yang sering kali dipertengkarkan oleh masing-masing pasangan bila sedang tertekan.

1.       Anda Tidak Menikah Dengan Orang Yang Salah.
Biasanya seorang istri dengan cepat bertanya-tanya apakah ia menikah dengan orang yang tepat atau sang suami mulai berpikir bahwa ia melakukan kesalahan. Hal ini sering terjadi dalam masa penyesuaian, ketika harapan-harapan ideal dalam pernikahan diperhadapkan dengan kenyataan.

  1. Tenyata istriku tidak dapat memasak.
  2. Ternyata suamiku tidak mampu menyetel karburator.
  3. Kami memiliki pandangan yang berbeda dalam hal keuangan.
  4. Masing-masing menyadari bahwa pasangannya cepat tersinggung, keras kepala, mudah marah, atau tertekan.
Oleh karena itu, Anda mulai berpikir bahwa Anda menikah dengan orang yang salah. Namun, kini bukan saatnya berpraduga. Anda telah menyatakan komitmen seumur hidup.
Tanggung jawab Anda di hadapan Allah adalah tetap bersama dengan orang yang telah Anda nikahi.

Matius 19:4-9;
19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
19:7 Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?"
19:8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.
19:9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."

1 Korintus 7:10-14.
7:10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya.
7:11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
7:12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia.
7:13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
7:14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus.

2.       Kegagalan Suami Memimpin Bukan Alasan Bagi Anda.
"Ya..." seorang wanita muda berkata dengan sungguh-sungguh, "Kalau saja suamiku memimpin sebagaimana seharusnya ia lakukan, segala sesuatu akan berjalan lancar. Namun ia tidak melakukannya, sehingga aku harus mengambil keputusan. Lalu ia mengkritik keputusan-keputusanku. Aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi."

Wanita itu benar di satu sisi. Suaminya seharusnya menjadi kepala rumah tangga. Ia harus memegang tampuk pimpinan, khususnya dalam hal-hal rohani. Namun, kegagalannya memimpin bukanlah alasan bagi sang istri untuk tidak taat.
Tanggung jawab di hadapan Allah tetap menuntutnya menjadi istri yang penuh kasih, bertumbuh dalam iman, dan memiliki kecantikan batin.
Jika ia menggunakan kegagalan suaminya sebagai alasan bagi tingkah lakunya yang tidak baik, ia sama gagalnya seperti suaminya.

1 Petrus 3:1-6.
3:1 Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya,
3:2 jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu.
3:3 Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah,
3:4 tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.
3:5 Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya,
3:6 sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai dia tuannya. Dan kamu adalah anak-anaknya, jika kamu berbuat baik dan tidak takut akan ancaman.

3.       Kegagalan istri untuk tunduk bukan alasan bagi Anda.
Beberapa suami membangun suatu alasan untuk menoleransi setiap kelemahan atau kegagalan -- mereka menyalahkan istrinya.
  1. "Ia terlalu alim. Ia mengoreksi setiap kali saya mencoba memimpin kebaktian keluarga. Karena kesalahannya itu, kami tidak pernah mengadakan kebaktian keluarga lagi."
  2. "Ia ingin membeli rumah ini. Lebih baik saya turuti karena itu akan menyenangkan hatinya. Salahnya sendiri kalau kami sampai mengalami kesulitan keuangan."
Jika seorang pria mulai berbicara seperti ini, maka ia menolak untuk mengambil tanggung jawab dalam proses memutuskan apakah kebaktian keluarga perlu diadakan atau tidak. Memang benar istrinya memberi masukan, tetapi mungkin ia hanya ingin mempertahankan pendapatnya. Namun hal ini bukan alasan bagi sang suami. Ia harus berhenti menyalahkan istrinya dan mulai melakukan apa yang benar di hadapan Allah.

4.       Seks Bukan Hal Yang Selalu Dipikirkan Suami.
Kadang-kadang seorang istri yang bekerja keras dan sangat sibuk mulai berpikir bahwa suaminya hanya tertarik padanya jika kebutuhan seksnya dipenuhi. Perasaan ini dapat menjadi berat bila beberapa keadaan berikut ini benar-benar terjadi.
a.        Suami gila kerja.
b.       Istri harus merawat rumah yang besar.
c.        Suami jarang menolong anak-anak.
d.       Jadwal mereka berdua sangat padat.

Memang benar bahwa suami Anda perlu diingatkan bahwa Anda memiliki kebutuhan lain selain kebutuhan fisik. Namun, mungkin Anda terlalu mengasihani diri sendiri dan membesar-besarkan masalah. Anda berdua harus mengadakan penyesuaian. Cobalah untuk tidak mendakwanya. Bicarakan perasaan Anda. Rencanakan suatu akhir pekan dengan piknik bersama dan jangan menunda. Masalah ini perlu diselesaikan sebelum menjadi lebih besar.

5.       Penampilan Bukan Hal Yang Selalu Dipikirkan Istri.
Kenyataan kelima tentang pernikahan adalah bahwa wanita lebih sering memikirkan penampilan. Namun, beberapa suami tidak percaya akan hal ini. Mereka membantah:
  1. "Ia selalu ingin membeli sesuatu yang baru untuk rumah kami."
  2. "Biasanya istriku butuh waktu yang cukup lama untuk memilih baju."
  3. "Ia berkata bahwa lemari dapur perlu diperbaiki, padahal bagi saya lemari itu masih cukup baik."
  4. "Persiapannya sebelum pergi sangat lama dan kami selalu terlambat!"
  5. "Ia senang belanja dan menghabiskan uang yang kudapat dengan susah payah hanya untuk membeli aksesori."

Memang benar bahwa wanita membanggakan penampilan. Dibanding pria, mereka lebih sering memperlihatkan apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka. Petrus berbicara terus terang kepada para wanita tentang bahaya bila terlalu menekankan penampilan luar, padahal seharusnya mereka memerhatikan "manusia batiniah yang tersembunyi" (1 Petrus 3:4).

Namun suami-suami, mari kita hadapi masalah ini! Kita membutuhkan istri untuk menolong kita. Beberapa dari kita ceroboh. Jika kita jujur, kita akan mengakui bahwa kita senang dengan perhatian mereka terhadap hal-hal kecil.


Rabu, 22 Februari 2012

KASIH YANG SEJATI

Semua orang bisa mencintai; yang membedakan satu dengan yang lain adalah bagaimana kita mencintai. Amnon pun mencintai Tamar, adik tirinya, namun setelah ia memperkosanya, cintanya terhadap Tamar lenyap, "... bahkan lebih besar benci yang dirasanya kepada gadis itu daripada cinta yang dirasakannya sebelumnya." (2 Samuel 13:15)

Cinta dapat dibagi dalam dua golongan besar:
1. cinta yang menghancurkan, dan
2. cinta yang membangun.

Cinta yang menghancurkan:
1. Menguasai -- tidak memberi ruang gerak untuk menjadi diri apa adanya.
2. Manipulatif -- menggiring orang untuk memenuhi kepentingan pribadi saja.

Cinta yang membangun (1 Korintus 13):
Sabar, murah hati (kind), tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan (not rude), tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu (always protects), percaya segala sesuatu (always trusts), mengharapkan segala sesuatu (always hopes), dan sabar menanggung segala sesuatu (always perseveres).

Kesimpulan:
1. Tidak mementingkan diri sendiri, memfokuskan pada pasangan -- apa yang baik dan benar baginya.
2. Menghormati pasangan, memberinya ruang gerak menjadi dirinya sendiri.
3. Mengampuni dan menerima kelemahannya.
4. Menjaganya.
5. Memercayainya.
6. Bersedia menderita dengannya.

Minggu, 19 Februari 2012

Perspektif : Pacaran dalam Ke-kristen-an

Pacaran merupakan suatu topik yang hangat dan lazim ditemui di tengah-tengah kalangan pemuda. Di dalam gereja, seringkali kita bisa melihat banyak teman-teman kita yang sudah berpacaran ataupun sedang ”PeDeKaTe” (pendekatan) kepada lawan jenisnya. Namun demikian, banyak orang Kristen (bahkan di antaranya mungkin teman kita atau kita sendiri) yang tidak berpasangan dengan orang yang seiman dan sepadan.
Bolehkah orang Kristen memiliki pasangan yang tidak seiman dan sepadan? Pertanyaan ini seringkali diabaikan oleh orang Kristen karena tidak menyadari pentingnya konsep berpasangan dalam ke-Kristen-an.
Istilah Kristen di sini bukan hanya sekedar menunjuk kepada orang Kristen secara umum tetapi kepada pengikut Kristus yang tunduk kepada Firman Tuhan.

Tentang Pacaran :
Apakah berpacaran menurut konsep Kristen? Apa perbedaannya pacaran Kristen dengan pacaran non-Kristen?
Berpacaran adalah suatu tahap yang melampaui tahap persahabatan antara seorang pria dan wanita, sebagai persiapan untuk memasuki tahap pernikahan. Yups! Terdengar begitu serius. Kenyataannya memang seserius itu. Banyak orang tidak mengerti keseriusan berpacaran dan hanya mengira kalau itu hanya untuk senang-senang. Pacaran melibatkan emosi dan jiwa, sehingga jangan heran kalau setiap kegagalan dalam berpacaran akan menimbulkan dampak pada hidup seseorang.
Kalau sudah menyadari bahwa pacaran adalah sesuatu yang serius, lalu apa?
Hanya menyadari kalau pacaran adalah sesuatu yang serius tidaklah cukup. Kita juga sebagai orang Kristen harus menyadari bahwa setiap hidup kita adalah untuk Tuhan, 
Kolose 1:16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.
dan tujuan hidup kita adalah untuk mempermuliakan Tuhan dan menikmati Dia di dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk di dalam hal mencari pasangan hidup. Karena itu, kita tidak boleh sembarangan di dalam berpacaran dan di dalam mencari pacar.

Sebelum seorang Kristen mencari pasangan, dia harus terlebih dahulu menyadari beberapa poin :
1.  Dia hidup untuk mempermuliakan Tuhan dan menikmati-Nya (Roma 11:36). Iman yang sejati adalah iman yang menyandarkan hidup sepenuhnya kepada Kristus sebagai Juruselamat dan menjadikan-Nya Tuhan (Yesus menjadi Penguasa dan kita taat sepenuhnya) di dalam kehidupan kita. Bukankah sesuatu yang wajar bila segenap hidup kita mempermuliakan Tuhan kita? Jadi sebelum mencari pacar, setiap orang Kristen harus menyadari bahwa mencari pasangan pun supaya mempermuliakan Tuhan dan dengan demikian mencari pacar yang bisa membuat kita terus lebih mempermuliakan Tuhan.
2.  Dia menyadari ada panggilan yang Tuhan tetapkan di dalam hidupnya. Setelah ditebus oleh Kristus, hidup kita pun memiliki tujuan (purpose) dan ada panggilan khusus bagi kita sebagaimana kita masuk di dalam rencana kekal Allah. Mungkin banyak orang belum tahu panggilannya secara pasti termasuk masalah pasangan hidup. Mencari pasangan hidup bertujuan untuk menggenapi panggilan yang telah Tuhan tetapkan di dalam hidup kita.
3.  Kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan kudus. Karena itu, pernikahan dan pacaran (persiapan pernikahan) tidak boleh dipermainkan atau dibuat mainan. Seksualitas (keintiman) juga diciptakan Tuhan sebagai sesuatu yang kudus yang boleh dinikmati oleh manusia secara bertanggung jawab di dalam pernikahan. Seksualitas dilakukan bukan sekedar untuk memuaskan nafsu birahi melainkan untuk menikmati suatu keintiman yang menggambarkan relasi antar Pribadi Allah Tritunggal dan menggambarkan relasi Kristus dengan jemaat-Nya.

Dari poin-poin di atas kita dapat langsung membedakan perspektif berpacaran secara Kristen dan non-Kristen. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa berpacaran secara Kristen tidak berpusat kepada diri tetapi pada Tuhan. Sedangkan berpacaran non-Kristen tidak mungkin berpusat pada Tuhan karena tidak adanya relasi dengan Tuhan.

Pasangan Tidak Seiman :
Apa salahnya punya pacar yang tidak seiman dan sepadan? Kan gak pasti dia akan tetap tidak percaya? Bukankah malah ada kesempatan juga untuk mempertobatkan dia?

Memang benar kalau ada kemungkinan pasangan yang tidak seiman tersebut bisa bertobat. Namun demikian, bertobat atau tidak bertobat bukan terletak di tangan kita. Allah yang sudah menetapkan umat pilihan-Nya sehingga Dia tahu apakah seseorang akan bertobat atau tidak. Kita hanya dapat menginjili orang tersebut. Masalah percaya atau tidak, itu di luar kedaulatan kita.
II Korintus 6:14–15,
6:14 Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?
6:15 Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?

Di dalam ayat ini, Paulus telah memperingatkan anak-anak Tuhan untuk tidak berpasangan dengan orang-orang yang tidak seiman. Memang latar belakang ayat ini tidak hanya tertuju secara spesifik kepada masalah pasangan hidup. Ayat ini juga mencakup gaya hidup, konsep pemikiran, dan lain-lain. Inti dari perikop ini adalah untuk menyucikan diri dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita di dalam takut akan Tuhan (II Korintus 7:1).
Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.
Tetapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa orang Kristen ngotot untuk berpacaran dengan orang non-Kristen? Apakah motivasi di baliknya? Benarkah motivasinya untuk menguduskan pasangannya (dengan menginjilinya agar bertobat) atau sebenarnya ‘rumput tetangga lebih hijau’ dan mencoba merohanikannya? Jika benar motivasi kita adalah penginjilan, apakah harus melalui pacaran? Kita dapat menginjili siapa saja tanpa menjadikannya pasangan kita bukan? Jadi, jikalau memang motivasi kita bukan untuk penginjilan, biarlah kita jujur mengatakannya. Tetapi, kejujuran ini tidak melegitimasikan ketidaktaatan kita kepada Firman Tuhan. Ini berarti kita yang harus bertobat dan menundukkan diri kita kembali kepada otoritas Firman Tuhan menjadi penuntun hidup kita.

Problematika berpasangan dengan orang yang tidak seiman dan sepadan :
Banyak orang yang hidup rukun meskipun pasangannya tidak sepadan. Kalau begitu, kenapa tidak boleh? Apakah dampak hidup dengan pasangan yang tidak seiman dan sepadan?

Pasangan Kristen dan non-Kristen memang dapat terlihat hidup di dalam kerukunan. Namun sebenarnya, di dalam lubuk hati terdalam terdapat bentrokan besar di antara kedua belah pihak, kecuali pihak yang Kristen berkompromi. Meskipun seseorang mengkompromikan imannya untuk dapat bersama-sama dengan pasangan yang tidak seiman dan sepadan, dia tidak dapat memungkiri kalau sebenarnya dia tidak bahagia karena pernikahannya tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana seharusnya sebuah pernikahan (lihat poin ke-3 di atas).

Beberapa perbedaan yang pasti akan menjadi masalah ketika seorang Kristen berpasangan dengan orang yang tidak seiman dan sepadan:
1.  Status hidup – Sebagai orang beriman, status hidup kita sudah diubah menjadi anak-anak Allah. Kita memiliki sebuah hubungan yang indah dengan Bapa di surga. Rasul Paulus menggambarkannya di dalam ayat yang dikutip di atas dengan perbandingan antara terang dan gelap.
2.  Standar hidup – Sebagai orang beriman, standar hidup kita adalah Firman Tuhan. Kita sadar kalau kita harus taat sepenuhnya kepada Allah dan tunduk kepada otoritas Alkitab. Bagaimana dengan pasangan kita yang non-Kristen?
3.  Tujuan hidup – Sebagai orang beriman, tujuan hidup kita adalah mempermuliakan Tuhan dan menikmati Dia selamanya. Kita rindu segala sesuatu yang kita lakukan dapat menyenangkan Tuhan. Gol dari hidup orang Kristen adalah Tuhan sendiri, sedangkan gol hidup non-Kristen adalah untuk diri, dunia, dan setan.
4.  Arti hidup – Sebagai orang beriman, kita menemukan kepenuhan arti hidup ketika kita bertemu dengan Kristus baik di dalam keselamatan (sebagai Juruselamat) maupun seluruh aspek hidup kita (sebagai Tuhan). Singkatnya, arti hidup kita adalah Kristus. Namun, pasangan yang non-Kristen akan hidup tanpa Kristus, setiap hal yang mereka lakukan adalah sia-sia, seperti kata Pengkhotbah.
5.  Eksistensi hidup – Setiap orang beriman dikatakan sudah dipindahkan dari mati kepada hidup, sedangkan orang non-Kristen masih berada di dalam kematian. Hal ini membedakan keberadaan dan kualitas hidup itu sendiri, orang Kristen menghidupi kehidupan yang hidup, yang berarti bertumbuh, sedangkan orang non-Kristen menghidupi kehidupan yang mati, yang berarti membusuk.

Implikasi :
Apakah motivasi kita ketika bertanya bolehkah orang Kristen berpasangan dengan non-Kristen? 
Biarlah kita jujur di hadapan Tuhan dan sebagai anak Tuhan rela tunduk hidup di bawah otoritas kebenaran firman Tuhan. Dengan demikian, kita belajar di dalam aspek ini mempertuhankan Kristus dalam hidup kita. Jadi, marilah kita belajar mencari kehendak Tuhan yang adalah pusat dari hidup kita dan bukan mencari batasan sampai di mana kita masih ‘tidak melanggar’ kehendak Tuhan. Soli Deo Gloria.

Jumat, 10 Februari 2012

KASIH TANPA SYARAT


Dalam sebuah upacara perkawinan, ada pasangan yang mengucapkan ikrar perkawinan seperti ini, "Saya berjanji akan mencintaimu selama saya bisa tetap jujur pada diri saya sebagai manusia, saya berjanji akan mencintaimu selama kita mampu saling membantu mengembangkan potensi masing-masing semaksimal mungkin, saya berjanji akan mencintaimu selama cinta kita tak berubah." Janji tersebut mengungkap suatu ketetapan niat yang bersyarat. Janji itu berlaku selama syarat-syarat itu dipenuhi.

Hal ini berbeda dengan kasih kristiani yang tak bersyarat. Dalam mengasihi, kita harus meninggalkan syarat-syarat kasih seperti berikut.

Kasih Yang Memilih :
Secara alamiah kita cenderung hanya mengasihi orang-orang yang seperti kita; memiliki persamaan suku, minat, hal kejiwaan, pekerjaan, atau ekonomi. Pilihan-pilihan ini menambahkan sebuah syarat pada cinta. "Saya akan mencintai dirimu selama...."

Banyak pria dan wanita modern yang amat pemilih dalam menentukan siapa yang akan mereka kasihi. Pola khas pergaulan semacam ini ialah memilih dua atau tiga orang teman dekat, dan boleh dikatakan mengabaikan yang lain.
Bila jumlah teman dekat yang mereka pilih itu menurun, syarat-syarat pun bertambah. Seseorang terpilih sebagai teman, sebab dia seimbang dengan seseorang yang memilihnya. Karenanya, sumber-sumber perselisihan yang mungkin ada diperkecil, agar dapat memperoleh manfaat sebanyak mungkin dari persahabatan itu.

Inilah pola yang saya ikuti sebelum saya menjadi orang Kristen. Saya memunyai dua teman akrab saja. Hubungan kami membentuk suatu lingkungan yang akrab dengan beberapa aspek yang baik, namun tertutup. Hubungan kami menjadi hubungan yang sangat mengikat diri dan terbatas pada kelompok kecil saja.

Akhirnya, kami bertiga menjadi Kristen (menerima Kristus sebagai Juru Selamat) dan menjadi anggota jemaat yang sama. Kami masih tetap berhubungan erat. Dalam banyak hal, ikatan kami semakin kuat, karena ikrar kami sebagai orang Kristen. Namun kini, kami masing-masing juga dekat dengan sejumlah anggota lain dari kelompok yang lain. Dan kami merasa terikat juga pada banyak orang yang sama sekali berbeda dengan diri kami.

Kasih Yang Menguntungkan :
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu... kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat." (Lukas 6:27-28, 32-35)

Kasih kristiani tidak mengharapkan balas budi dari kasih yang mereka berikan.
Sebenarnya, kita cenderung mengasihi orang-orang yang mampu membalas kasih kita saja, atau orang-orang yang menghargai kita. Akan tetapi, hal itu membatasi kasih kristiani. Ketika Yesus memerintahkan kita untuk mengasihi musuh-musuh kita, Ia menentukan batas yang lebih tinggi dalam kasih.

Tentu, selalu ada orang-orang yang sukar untuk kita kasihi. Ini normal. Mungkin beberapa orang tadi adalah musuh kita, yakni orang-orang yang hendak menyakiti kita, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang hanya menjengkelkan kita, orang-orang yang kepribadiannya bertolak belakang dengan kepribadian kita. Namun demikian, mengasihi orang-orang seperti ini ada juga keuntungannya bagi kita. Mereka itu seperti kertas ampelas yang menimbulkan pergesekan. Manfaatnya timbul apabila sifat-sifat mereka yang menjengkelkan itu menghasilkan sesuatu yang kita butuhkan, seperti kesabaran yang lebih besar, toleransi, keluwesan, dsb.. Ini semacam pemolesan rohani. Walaupun kita memperoleh manfaat dari pemolesan ini, tetapi ini bukan alasan utama untuk mengasihi orang lain, dengan tidak mempersoalkan apakah kita akan mendapat keuntungan atau tidak bila kita mengasihi mereka.

Adakalanya, orang-orang yang sukar kita cintai ini akan menghargai usaha kita. Tetapi walaupun mereka tak menghargai usaha kita, kita harus mengasihi mereka dan melayani mereka, seperti yang dilakukan Yesus (Lukas 17:11-18).

Walaupun Yesus tidak menyetujui sikap tak tahu berterima kasih, bahkan Ia mengecamnya, namun kasih-Nya tidak bergantung pada ucapan terima kasih yang diberikan, sebagai alasan atas kasih-Nya. Bila kita mendapati diri kita melayani orang-orang yang lupa menyatakan terima kasih mereka, kita tidak boleh menanggapi sikap mereka itu dengan mengatakan, "Itulah kali terakhir saya membantu mereka." Akan tetapi, sebagaimana Tuhan kita, Yesus, kita hendaknya mengasihi dan melayani orang-orang yang tak tahu berterima kasih. Pelayanan ini tak dapat dilakukan dengan kasih yang bergantung pada keuntungan.

Kadang kala, kasih itu menguntungkan. Kasih itu menular. Orang-orang yang kita kasihi cenderung membalas kasih kita. Tetapi keuntungan perseorangan bukanlah urusan kita. Kita harus mengasihi tanpa memedulikan apakah itu menguntungkan atau tidak.

Kasih Yang Berhati-Hati :
"Kasih itu penuh risiko. Apa yang terjadi bila orang yang Anda kasihi itu berpaling dan mengkhianati Anda? Apakah yang akan terjadi bila orang yang Anda kasihi itu meninggal dunia, atau menemui kemalangan? Bukankah kasih hanya akan membuat hati Anda terluka?" Kasih yang berhati-hati berusaha melindungi diri dari dukacita. Hal menjauhi dukacita, kesulitan, dan cobaan akan menjadi syarat-syarat kasih. Cara semacam ini menjadi semakin umum dalam hubungan kita, dan orang mudah berubah karena mereka mendasarkan kasih pada perasaan.

Tentu saja tidak bisa dijamin, bahwa kasih kristiani tidak akan membawa dukacita. Orang Kristen masih bisa berbuat dosa dan masih dapat saling menyakiti hati. Rasul Yakobus mengatakan bahwa kasih "menutupi banyak dosa." Maksudnya, ada banyak dosa yang dapat ditutupi. Hubungan yang langgeng hanya dimungkinkan dengan menahan kesedihan melalui kasih yang mengikat diri, bukan dengan cara menghindari kesedihan.

Daripada mencari-cari cara melindungi diri agar hati tidak terluka dalam pergaulan kita dengan sesama, lebih baik orang Kristen melakukan pendekatan lain dalam menangani hal tersebut. Dalam pelajaran bela diri, salah satu pelajaran pertama yang diberikan adalah cara menjatuhkan diri yang tepat. Para pelatih bela diri memang realistis. Mereka menganggap bahwa anak-anak asuhan mereka nantinya harus menahan tendangan-tendangan yang tangguh. Maka dari itu, mengetahui cara menjatuhkan diri yang baik, serta cara mengatasi pukulan-pukulan yang datang adalah ketangkasan yang penting.

Orang Kristen juga dapat belajar cara menahan sakit hati dalam hubungan antar pribadi, yakni melalui pengampunan, kesabaran, langsung menangani perselisihan, dst., tanpa membuat semakin tegang ataupun menjaga jarak.

Kasih Demi Pemuasan Diri :
"Saya butuh hubungan yang penuh kasih, supaya hidup saya memuaskan." Siapakah akan memungkiri fakta yang tersirat di dalam pernyataan itu? Kita semua butuh hubungan penuh kasih agar hidup kita memuaskan. Masalahnya bukanlah pemuasan diri, tetapi menganggap pemuasan diri sebagai tujuan hidup kita.

Bila pemuasan diri adalah tujuan akhir, maka akan ada kecenderungan untuk memandang hubungan kasih sebagai alat untuk mencapai tujuan itu. Sering kali pendekatan ini menuntun kita untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan pribadi akan kasih sayang atau pemuasan diri sendiri melalui cinta. Kasih yang tadinya merupakan pelengkap dari pemuasan diri, kini menjadi syarat lain yang harus dipenuhi.

Tujuan hidup orang Kristen bukanlah pemuasan diri, melainkan kasih akan Allah dan sesama manusia. Ajaran-ajaran Alkitab mendorong kita untuk memusatkan diri pada sesama, dan bukan memikirkan diri sendiri. Kita mengasihi, bukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi sebagai tanggapan kasih Allah, "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yohanes 4:19) Kasih bukanlah upaya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu pemuasan diri, kebahagiaan, ataupun kepuasan pribadi; kasih itulah tujuannya.

Kasih Sebagai Ganjaran atau Hukuman :
Para ahli ilmu jiwa menyatakan bahwa teknik ganjaran dan hukuman sangat efektif untuk mengubah tingkah laku. Sebagai contoh adalah tikus, ia dapat dilatih untuk melakukan latihan-latihan yang cukup sulit.

Karena kasih itu sangat kuat, kita cenderung memakainya sebagai suatu ganjaran, atau menariknya kembali sebagai hukuman. Tetapi kasih semacam itu adalah kasih yang bersyarat. Kasih kristiani tidaklah untuk diamalkan dengan cara seperti itu. Kita tidak boleh menarik kembali ikatan janji kita untuk mengasihi orang lain, sebagai hukuman bagi orang tersebut bila ia bersalah; kita juga tidak boleh mengancam akan menarik kembali kasih kita, agar ia terdorong untuk mengubah dirinya. Dengan perkataan lain, mengasihi atau janji untuk lebih mengasihi hendaknya tidak dimanfaatkan sebagai alat pemikat.

Saya tidak mau memberi kesan bahwa kita berlaku tidak konsekuen jika kita mengasihi orang lain, dan bersamaan dengan itu pula, kita mencoba mengubah mereka. Kita bisa saja menerima dan mengasihi orang lain, dan pada saat yang sama, berusaha mengubah tingkah laku mereka.
Cara Tuhan menerima dan mengasihi kita adalah contoh yang baik, yang dapat kita terapkan dalam hubungan kita dengan ating.

Dalam kebaktian penginjilan yang dilakukan Billy Graham, sebuah lagu dinyanyikan, “Sebagaimana adaku, kudatang pada-Mu, Yesus.” Kata-kata lagu pujian itu menyatakan suatu kebenaran yang penting: Allah mengundang kita untuk ating kepada Yesus dan menerima keselamatan, walau bagaimanapun keadaan kita. Warta suci Kristus bukanlah “berubah dahulu, baru ating”, tetapi “datanglah, sebagaimana ada.”
Meskipun demikian, perubahan merupakan bagian berita keselamatan. “Datanglah sebagaimana adanya, tetapi jangan tetap dalam keadaan itu; berubahlah supaya serupa dengan Kristus.”

Maksud kasih yang mengubah tingkah laku ialah bahwa kasih yang kita berikan itu tidak tergantung pada tingkah laku orang, bukan berarti kita tak boleh berusaha mengubah kelakuan orang. Sebenarnya, adakalanya kita wajib mencoba memperbaiki tindak-tanduk seseorang. Misalnya, apabila tingkah laku seorang anak tidak pantas, maka orang tua wajib berusaha agar kelakuan anak mereka berubah. Kita tidak boleh mengabaikan tanggung jawab kita untuk membantu maupun mendorong orang yang kita cintai untuk mengubah kelakuannya, jika memang harus melakukannya. Namun, kita hendaknya jangan mengancam bahwa kita akan berhenti mengasihi mereka, jika mereka tidak mengubah kelakuan mereka.

Kasih Yang Harus Setimpal :
Keseimbangan dalam kasih itu bertalian dengan menjaga agar semua setimpal. Namun, mencari keseimbangan itu sama seperti hendak menjangkau bintang yang jauh sekali dari kita.

Dalam Efesus 5:25, Paulus mengatakan, "... kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat...." Nasihatnya membatalkan usaha untuk memelihara keseimbangan dalam kasih. Saya tidak dapat membayangkan bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya seperti itu. Puji Tuhan, Ia tidak pernah menerapkan prinsip keseimbangan kasih semacam itu kepada saya.

Hanya kasih tanpa syarat -- kasih yang tidak ambil pusing dengan ketidakseimbangan dalam pernyataan kasih -- yang dapat mengakhiri prinsip kasih yang setimpal. Seperti Yohanes menuliskan, "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita," bukan "kita mengasihi agar semua itu setimpal."

Dalam bentuk apa pun kasih itu muncul, kasih yang bersyarat bukanlah kasih kristiani. Kasih kristiani berdasarkan kasih Tuhan yang tidak bersyarat kepada umat-Nya, yakni kasih yang diulurkan-Nya kepada kita, walaupun kita memusuhi Dia (Kolose 1:21-22).

Ringkasan :
Kasih yang diamalkan oleh orang Kristen hendaklah kasih tanpa syarat. Kasih yang memilih, mendorong kita untuk hanya mengasihi orang-orang yang serupa dengan kita. Kasih yang menguntungkan, mendorong kita untuk mengasihi sesama bila kita melihat bahwa kasih yang kita tanamkan itu membuahkan hasil/balasan. Kasih yang berhati-hati, berusaha melindungi kita dari sesuatu yang menyakiti hati kita atau dari kekecewaan. Kasih demi pemuasan diri, hanya mengutamakan kebutuhan kita akan pemuasan diri. Kasih yang dipakai sebagai sarana untuk mengubah kelakuan orang yang kita kasihi, berarti menggunakan kasih sebagai ganjaran atau hukuman. Kasih yang harus seimbang, berusaha agar segala sesuatu seimbang, tidak pernah memberikan lebih banyak atau lebih sedikit kepada orang yang kita kasihi. Semua ini adalah bentuk kasih yang menyimpang dari kasih kristiani. Kasih kristiani, sama seperti kasih Tuhan, adalah kasih tanpa syarat.