Dalam ceramah yang berkaitan dengan
memilih pasangan hidup, kadang saya mendapat pertanyaan, "Bolehkah
menikah dengan orang yang tidak seiman?" Sesungguhnya, jawaban terhadap
pertanyaan ini bergantung pada bagaimanakah kita memandang pernikahan
itu sendiri. Jika kita memandang pernikahan lebih dari sekadar pemenuhan
kebutuhan, keharmonisan rumah tangga, menyambung keturunan, dan menjadi
wadah yang sehat bagi pertumbuhan anak-anak, maka jawabannya adalah
"Tidak boleh". Demikian juga sebaliknya. Jadi, bagaimanakah seharusnya
kita memandang pernikahan? Pada dasarnya, kita harus memandang
pernikahan dari sudut pandang kemuliaan Tuhan. Firman Tuhan dalam Efesus
1:5-6, 12 berkata, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula
oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan
kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang
dikaruniakan-Nya kepada kita ... supaya kami yang sebelumnya telah
menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi
kemuliaan-Nya."
Hidup kita seyogianya menjadi puji-pujian bagi
kemuliaan-Nya. Dan, bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi
kemuliaan-Nya, sudah selayaknyalah pernikahan kita pun menjadi
puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah
pernikahan dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.
Pertama,
ketaatan pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup. Kita mesti
mengutamakan kehendak Tuhan saat memutuskan siapakah yang akan kita
pilih untuk menjadi suami atau istri kita. Pada dasarnya, pergumulan
ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa "yang kita anggap baik"
atau melakukan apa "yang TUHAN anggap baik". Mungkin orang ini baik dan
cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa
yang terbaik buat kita. Namun, ia tidak seiman dan tidak memercayai
Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Nah, dalam situasi seperti
inilah ketaatan mendapatkan ujiannya. Apakah kita akan terus menerobos
rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita akan menaati-Nya? Pada akhirnya,
keputusan apa pun yang diambil bergantung pada apakah kita dapat
mengatakan bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita.
Jika kita dapat mengatakan bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu
berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau lebih benar daripada
perintah Tuhan.
Berkenaan dengan pernikahan, dalam 1 Korintus
7:39 dan 2 Korintus 6:14 tertulis dengan jelas perintah Tuhan untuk kita
anak-anak-Nya, "... ia bebas menikah dengan siapa saja yang
dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya. Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya ...." Nah, bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah
sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi daripada perintah
Allah. Jadi, sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita
dengannya, tetap saja itu bukanlah yang terbaik.
Kedua, ketaatan
pada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan. Adakalanya kita
mengidentikkan "menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan" dengan
kegiatan pelayanan. Sudah tentu keterlibatan dalam pelayanan adalah
sesuatu yang baik dan menyenangkan hati Tuhan. Namun, pada akhirnya kita
harus menyadari bahwa yang terpenting bukan kegiatan melainkan
ketaatan. Kita bisa giat dalam pelayanan, tetapi belum tentu bisa taat
dalam pernikahan. Meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang
pembuktian ketaatan, beberapa di bawah ini mungkin dapat mewakili
sebagian di antaranya.
Apa yang kita lakukan ketika sesuatu yang
kita inginkan tidak didapatkan, memperlihatkan seberapa besar ketaatan
kita pada kehendak Tuhan. Apa yang kita perbuat seharusnya atas nama
kasih. Ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang
diberikan, melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan.
Mungkin ada banyak hal yang ingin kita kerjakan dalam hidup ini, dan
kita berharap pasangan dan bahkan anak-anak akan memberikan dukungan
untuk meraih impian. Namun, adakalanya hal itu tidak terjadi.
Sebaliknya, malah kita yang dituntut untuk mengorbankan kepentingan
pribadi demi pasangan atau anak-anak. Ternyata, menjadi puji-pujian bagi
kemuliaan Tuhan acap kali terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih
impian, melainkan dengan pengurbanan kita melepaskan impian. Saat kita
melepaskan impian, Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang
sungguh-sungguh membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.
Kesimpulan :
Sebagaimana
hal lainnya dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan.
Jadi, persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama
Tuhan kita Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai
bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar