Minggu, 25 November 2012

Kehadiran Anak dalam Keluarga

"Sudah mendapat momongan belum, Mbak/Mas?" Demikianlah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada pasangan suami istri setelah menikah. Bagi sebagian besar masyarakat, kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Sebuah pernikahan seolah belum lengkap tanpa kehadiran seorang anak karena anak dianggap sebagai anugerah besar yang Tuhan percayakan kepada pasangan menikah. Semoga dengan membaca artikel ini, Anda dapat menolong orang lain dalam memandang kehadiran anak dalam keluarga mereka dari sudut pandang Alkitab.

ANAK ADALAH ANUGERAH BAGI KELUARGA KRISTEN

Dalam pernikahan, anak merupakan tanda utama dari cinta yang saling berbalas antara pria dan wanita. Anak merupakan anugerah utama bagi keluarga Kristen. Ini merupakan penyempurnaan trinitas dari segitiga cinta yang ada dalam lingkaran keluarga yang intim. Perwujudan cinta mereka yang sakral secara lahiriah ini merupakan berkat dari Allah. Ini merupakan salah satu tujuan utama pernikahan dan tujuan hubungan suami istri itu sendiri. Sebagai konselor Kristen, kita terkadang menjumpai situasi yang memaksa kita untuk memberikan nasihat tentang cara membesarkan anak dan pada kasus yang lain, menghibur orang yang kehilangan anaknya. Situasi-situasi yang lain mencakup pengalaman yang dialami oleh pasangan yang frustrasi saat berusaha untuk bisa hamil. Masalah ini dan masalah-masalah lainnya menjadi masalah yang sensitif dalam konseling Kristen.

Pada intinya, kehadiran seorang anak dalam pernikahan dapat memenuhi banyak kebutuhan mendasar manusia. Pertama, dorongan biologis dan evolusioner manusia untuk mereproduksi gen bagi generasi berikutnya. Kedua, anak merupakan ekstensi rohani dari diri seseorang. Warisan seseorang tidak hanya melampaui masa hidupnya; ingatan dan berbagai tradisi seseorang akan terus dilanjutkan dari generasi ke generasi. Bukan hanya ciri-ciri fisik yang diturunkan seseorang kepada keturunannya, melainkan juga idealisme, agama, tradisi, dan nilai-nilai mereka. Ketiga, secara emosional seorang anak dapat memberikan penghiburan. Tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari kasih orang tua terhadap anaknya. Semua kebutuhan akan pengasuhan ini bersifat timbal balik. Orang tua akan merawat anak pada masa kecilnya dan anak akan merawat orang tua pada masa tua mereka.

Yesus Memahami Kehadiran Seorang Anak

Secara teologis, kehadiran anak merupakan satu bagian dan cikal bakal dalam penciptaan kehidupan. Ketika sepasang suami istri membagikan cinta mereka yang kuat, Allah memberkati mereka dengan kehadiran-Nya. Pada saat pembuahan, Allah menjamah sepasang suami istri dengan penciptaan jiwa yang bersamaan. Seorang pribadi yang utuh, tubuh dan jiwa pada saat itu tercipta dan menjadi perwujudan akhir dari cinta kasih sepasang suami istri.

Anak benar-benar merupakan anugerah yang besar dari Allah. Hal ini terlihat di seluruh Alkitab ketika para orang tua Perjanjian Lama diberkati dengan kesuburan; kisah-kisah yang menggambarkan sukacita besar atas kehamilan dari zaman Sara hingga Elizabet, dan bahkan ketika Maria mengandung Yesus dengan cara yang ajaib juga menggambarkan hal ini. Sukacita atas kehamilan seseorang sangat dihormati di lingkungan orang-orang Kristen dan seharusnya menjadi masa yang begitu membahagiakan. Konseling rohani harus menekankan sukacita ini dan menentang masyarakat yang "mati", yang menganggap kehamilan dan anak-anak sebagai hambatan untuk kehidupan materialis seseorang. Sebaliknya, keluarga Kristen seharusnya dengan mantap menyatakan kepada masyarakat bahwa anak-anak adalah berkat dan bukan gangguan.

Kesimpulannya, Kristus berkata, "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku dan bahwa untuk masuk ke dalam kerajaan surga, seseorang harus menjadi seperti anak kecil." Bagaimana mungkin sebuah keluarga tidak ingin dikelilingi oleh anak-anak yang tidak berdosa seperti itu? (t/Setya)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: AIHCP Health Care Blog
Alamat URL: http://www.aihcp.org/blog/the-gift-of-children-to-the-christian-family/
Judul asli artikel: The Gift of Children to the Christian Family
Penulis: Mark Moran, MA, GC-C, SCC-C
Tanggal akses: 29 Agustus 2012

RAHASIA HIDUP BAHAGIA SEKALIPUN TANPA ANAK

Semua pasangan menikah tentu menantikan hadirnya seorang anak karena anak adalah penerus garis keturunan keluarga dan penolong pada masa tua. Selain itu, anak merupakan bukti ikatan cinta kasih suami dan istri. Karenanya, orang tua dengan sukacita mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anak mereka. Dan, jika mereka tidak memiliki anak, mereka merasa gagal. Lalu, bagaimana jika sudah menanti cukup lama dan melakukan berbagai usaha, tetapi tetap tidak kunjung memiliki anak? Semoga langkah-langkah berikut bisa menolong suami istri tetap bahagia, meskipun tanpa kehadiran anak.

- Pernikahan Memang Tidak Selalu Memiliki Anak
Salah satu tugas yang diberikan kepada manusia adalah "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi". Artinya, manusia harus berkembang biak. Akan tetapi, Kejadian 2:24 menunjukkan bahwa pernikahan menuntun kepada kesatuan, namun hasil dari kesatuan, yaitu anak, tidak dituliskan. Jadi, secara umum manusia memang harus berkembang biak, tetapi kesatuan suami istri lebih penting. Karena itu, jika suami istri tidak memiliki anak, jangan berpikir bahwa pernikahannya gagal. Ketika sebuah pernikahan tidak memenuhi maksud umum Allah untuk beranak cucu dan bertambah banyak, mungkin Allah mendesain pernikahan itu untuk tugas khusus.

- Mengenali Tugas Khusus

Daripada terus merasa gagal, tidak sempurna, atau bersalah; suami istri sebaiknya mencari apa maksud Allah dengan tidak memberikan keturunan kepada mereka. Adakah tugas khusus yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan?

Tuhan kadang mengizinkan sepasang suami istri tidak memiliki anak agar hidupnya menghasilkan buah yang banyak bagi Dia. Tuhan menugaskan mereka untuk menggerakkan organisasi-organisasi dan beberapa orang untuk melakukan proyek pembinaan karakter, pertolongan bagi ketidakadilan, atau pengentasan kemiskinan. Jika mereka memiliki anak, mereka belum tentu bisa melayani seefektif itu.

Meskipun begitu, tidak berarti tugas yang dilakukan pasangan tanpa anak harus dalam skala besar. Mereka bisa memberikan dukungan keuangan sambil memantau perkembangan jiwa anak-anak kurang mampu atau yatim piatu. Mereka tidak harus menarik anak-anak untuk menjadi keluarga mereka, mereka bisa mengunjungi anak-anak untuk berbincang dan melakukan pembinaan. Tugas khusus lainnya adalah melakukan riset-riset sulit dan penting untuk kepentingan umum. Misalnya, melakukan penelitian terhadap penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (seperti HIV/Aids, kanker, atau TBC) dan persoalan-persoalan masa depan (seperti menyusutnya pangan, energi, maupun kerusakan lingkungan). Tugas-tugas besar ini membutuhkan pencurahan waktu, tenaga, dan uang. Dan, orang-orang yang tidak memiliki anak akan lebih leluasa melakukannya. Dengan tugas khusus ini, walaupun sepasang suami istri tidak memiliki anak, mereka sedang menyelamatkan hidup banyak anak.

- Mengadopsi Anak
Pilihan untuk mengadopsi anak itu baik. Namun, perlu dipikirkan bagaimana mengasuh dan memeliharanya, bagaimana menjalin relasi dengan orang tua biologis mereka, dan kapan memberi tahu anak tentang identitasnya. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan bentuk komunikasinya, supaya anak adopsi tidak merasa terbuang.

Apabila Anda ingin mengadopsi anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya atau yang dititipkan di rumah yatim piatu, Anda perlu mengenali masa lalu si anak dengan baik dan mempertimbangkannya dengan matang. Karena, bisa saja orang tua biologis si anak berniat buruk dengan memantau dari jauh dan suatu saat melakukan pemerasan. Selain itu, Anda harus memerhatikan aspek legal. Buatlah akta adopsi sehingga kedudukan relasi orang tua anak menjadi kuat.

- Hidup Benar dan Tidak Terluka

Karena tidak memiliki anak, beberapa pasangan sering merasa terluka, marah kepada Tuhan, dan menyalahkan pasangan. Hal ini sangat tidak baik karena akan merusak diri sendiri dan pernikahan. Ketika pernikahan tidak dikaruniai anak, baik karena kemandulan salah satu pasangan atau keduanya, sebaiknya masing-masing mau menerima kenyataan dengan ikhlas dan saling menguatkan serta menerimanya sebagai kedaulatan Allah untuk mereka berdua. Pasangan suami istri harus saling menguatkan, lalu mencari tahu apa tugas yang mereka emban dengan ketidakhadiran anak tersebut. Seperti Zakharia dan Elisabet yang tetap hidup benar di hadapan Allah, meskipun tidak memunyai anak. Kehidupan yang benar akan membuat pasangan suami istri menjadi berkat bagi banyak orang. Mereka menjadi teladan bagi banyak pasangan yang bergumul dengan ketidakhadiran anak.

Jangan sampai meninggalkan pasangan karena ia mandul. Hanya orang-orang yang tidak dewasa, yang tidak memiliki kasih dan komitmen sejati, yang membesar-besarkan masalah itu dan meninggalkan pasangannya.

- Terus Berharap, Tetapi Tidak Memaksa

Bagi pasangan yang belum dikaruniai anak, tentu boleh berharap. Apalagi, jika hal itu terjadi karena alasan medis yang tidak bisa ditanggulangi. Tetaplah berharap sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah. Zakharia dan Elisabet pun terus berharap dan semakin tekun berdoa. Akhirnya, mereka mendapatkan anak. Dalam hal ini, yang penting adalah jangan memaksa Tuhan. Berdoalah dengan terbuka, tetapi tidak berfokus pada persoalan anak. Lanjutkan hidup yang berguna bagi sesama dan kehidupan.

- Menyiapkan Hari Tua
Daripada terus bersedih karena tidak memiliki anak, pasangan suami istri sebaiknya mempersiapkan masa tua mereka dengan baik. Karena itu, selama masih sehat, gunakanlah waktu sebaik mungkin untuk mempersiapkan keuangan untuk pembiayaan hari tua yang akan dilalui dengan tinggal di rumah keluarga/biaya panti jompo.