Setelah sepasang kekasih menjalin hubungan spesial dan merasa cocok, keputusan untuk menikah tentu menjadi langkah selanjutnya.
Namun,
meskipun sepasang kekasih sudah melewati masa berpacaran yang lama, masih saja
ada banyak fakta tentang pasangan yang baru diketahui setelah menikah. Seperti
apakah pernikahan itu? Apa peran suami dan istri yang benar dalam pernikahan?
Para
pendeta dan konselor pernikahan berulang kali mendengar pernyataan yang tidak
benar dari suami dan istri. Inilah kenyataan tentang pernikahan yang sering kali
dipertengkarkan oleh masing-masing pasangan bila sedang tertekan.
1.
Anda Tidak Menikah Dengan Orang Yang Salah.
Biasanya seorang istri dengan cepat bertanya-tanya
apakah ia menikah dengan orang yang tepat atau sang suami mulai berpikir bahwa
ia melakukan kesalahan. Hal ini sering terjadi dalam masa penyesuaian, ketika
harapan-harapan ideal dalam pernikahan diperhadapkan dengan kenyataan.
- Tenyata istriku tidak dapat memasak.
- Ternyata suamiku tidak mampu menyetel karburator.
- Kami memiliki pandangan yang berbeda dalam hal keuangan.
- Masing-masing menyadari bahwa pasangannya cepat tersinggung, keras kepala, mudah marah, atau tertekan.
Oleh karena itu, Anda mulai berpikir bahwa Anda menikah dengan orang yang
salah. Namun, kini bukan saatnya berpraduga. Anda telah menyatakan komitmen
seumur hidup.
Tanggung jawab Anda di hadapan Allah adalah tetap
bersama dengan orang yang telah Anda nikahi.
Matius
19:4-9;
19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia
yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan?
19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging.
19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia."
19:7 Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian,
apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan
isterinya?"
19:8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran
hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah
demikian.
19:9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa
menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain,
ia berbuat zinah."
1 Korintus
7:10-14.
7:10 Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak,
bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh
menceraikan suaminya.
7:11 Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup
tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh
menceraikan isterinya.
7:12 Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan,
katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan
perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu
menceraikan dia.
7:13 Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang
yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia,
janganlah ia menceraikan laki-laki itu.
7:14 Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan
oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.
Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi
sekarang mereka adalah anak-anak kudus.
2.
Kegagalan Suami Memimpin Bukan Alasan Bagi Anda.
"Ya..." seorang wanita muda berkata dengan
sungguh-sungguh, "Kalau saja suamiku memimpin sebagaimana seharusnya ia
lakukan, segala sesuatu akan berjalan lancar. Namun ia tidak melakukannya,
sehingga aku harus mengambil keputusan. Lalu ia mengkritik keputusan-keputusanku.
Aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi."
Wanita itu benar di satu sisi. Suaminya seharusnya menjadi kepala rumah tangga. Ia harus memegang tampuk pimpinan, khususnya dalam hal-hal rohani. Namun, kegagalannya memimpin bukanlah alasan bagi sang istri untuk tidak taat.
Tanggung jawab di hadapan Allah tetap menuntutnya
menjadi istri yang penuh kasih, bertumbuh dalam iman, dan memiliki kecantikan
batin.
Jika ia menggunakan kegagalan suaminya sebagai alasan
bagi tingkah lakunya yang tidak baik, ia sama gagalnya seperti suaminya.
1 Petrus
3:1-6.
3:1 Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah
kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman,
mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya,
3:2 jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya
hidup isteri mereka itu.
3:3 Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu
dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan
pakaian yang indah-indah,
3:4 tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang
tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah
lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.
3:5 Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan
kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya
kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya,
3:6 sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai
dia tuannya. Dan kamu adalah anak-anaknya, jika kamu berbuat baik dan tidak
takut akan ancaman.
3.
Kegagalan istri untuk tunduk bukan alasan bagi Anda.
Beberapa suami membangun suatu alasan untuk
menoleransi setiap kelemahan atau kegagalan -- mereka menyalahkan istrinya.
- "Ia terlalu alim. Ia mengoreksi setiap kali saya mencoba memimpin kebaktian keluarga. Karena kesalahannya itu, kami tidak pernah mengadakan kebaktian keluarga lagi."
- "Ia ingin membeli rumah ini. Lebih baik saya turuti karena itu akan menyenangkan hatinya. Salahnya sendiri kalau kami sampai mengalami kesulitan keuangan."
Jika seorang pria mulai berbicara seperti ini, maka ia menolak untuk mengambil
tanggung jawab dalam proses memutuskan apakah kebaktian keluarga perlu diadakan
atau tidak. Memang benar istrinya memberi masukan, tetapi mungkin ia hanya
ingin mempertahankan pendapatnya. Namun hal ini bukan alasan bagi sang suami.
Ia harus berhenti menyalahkan istrinya dan mulai melakukan apa yang benar di
hadapan Allah.
4.
Seks Bukan Hal Yang Selalu Dipikirkan Suami.
Kadang-kadang seorang istri yang bekerja keras dan
sangat sibuk mulai berpikir bahwa suaminya hanya tertarik padanya jika
kebutuhan seksnya dipenuhi. Perasaan ini dapat menjadi berat bila beberapa
keadaan berikut ini benar-benar terjadi.
a.
Suami gila kerja.
b. Istri harus merawat rumah yang besar.
c.
Suami jarang
menolong anak-anak.
d. Jadwal mereka berdua sangat padat.
Memang benar bahwa suami Anda perlu diingatkan bahwa Anda memiliki kebutuhan lain selain kebutuhan fisik. Namun, mungkin Anda terlalu mengasihani diri sendiri dan membesar-besarkan masalah. Anda berdua harus mengadakan penyesuaian. Cobalah untuk tidak mendakwanya. Bicarakan perasaan Anda. Rencanakan suatu akhir pekan dengan piknik bersama dan jangan menunda. Masalah ini perlu diselesaikan sebelum menjadi lebih besar.
5.
Penampilan Bukan Hal Yang Selalu Dipikirkan Istri.
Kenyataan kelima tentang pernikahan adalah bahwa
wanita lebih sering memikirkan penampilan. Namun, beberapa suami tidak percaya
akan hal ini. Mereka membantah:
- "Ia selalu ingin membeli sesuatu yang baru untuk rumah kami."
- "Biasanya istriku butuh waktu yang cukup lama untuk memilih baju."
- "Ia berkata bahwa lemari dapur perlu diperbaiki, padahal bagi saya lemari itu masih cukup baik."
- "Persiapannya sebelum pergi sangat lama dan kami selalu terlambat!"
- "Ia senang belanja dan menghabiskan uang yang kudapat dengan susah payah hanya untuk membeli aksesori."
Memang benar bahwa wanita membanggakan penampilan. Dibanding pria, mereka lebih sering memperlihatkan apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka. Petrus berbicara terus terang kepada para wanita tentang bahaya bila terlalu menekankan penampilan luar, padahal seharusnya mereka memerhatikan "manusia batiniah yang tersembunyi" (1 Petrus 3:4).
Namun suami-suami, mari kita hadapi masalah ini! Kita membutuhkan istri untuk menolong kita. Beberapa dari kita ceroboh. Jika kita jujur, kita akan mengakui bahwa kita senang dengan perhatian mereka terhadap hal-hal kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar