Saudaraku,
Saat-saat ini aku masih berpikir dan
menimbang-nimbang, apakah aku harus mencintaimu setulus hatiku? Apa
pentingnya mencintaimu? Toh sudah banyak yang memperhatikan dan
melayanimu!! Siapakah aku ini sehingga aku tergerak untuk
memperhatikanmu juga? Namun, apa yang bisa kuandalkan dalam diriku untuk
mencintaimu? Aku tidak memiliki apapun untuk diberikan padamu!
Bagaimana aku bisa mencintaimu tapi aku tidak memberi apapun padamu?
Sahabatku,
Sebelum
kujawab pertanyaanmu, aku ingin memanggilmu bukan Saudaraku tapi
Sahabatku. Aku ingin mengatakan padamu, "Mengapa engkau masih
berpikiran, bahwa cinta itu harus memberi apa yang dimilikinya? " Cinta
itu bukanlah memberi apa yang engkau miliki secara fisik saja! Cobalah
perhatikan, janin dalam kandungan ibunya, anak-anak kecil, sampai
remaja, yang masih tergantung kebutuhan hidup pada orang tuanya, bahkan
anak anak cacat pun mampu mencintai orang tua dan saudara-saudaranya.
Seorang anak dalam rahim ibu mencintai dengan kondisinya yang terbatas,
ia mempercayakan pertumbuhan dan berkembangnya tubuh pada keputusan dan
tindakan ibu dan ayahnya. Anak itu tidak memiliki "daya untuk membela
diri": dia pasrah untuk dirawat dan dibesarkan orang tuanya. Anak yang
cacat dan memiliki kebutuhan "khusus" selalu menawarkan kesempatan untuk
diperhatikan, disayang, dilayani dan diistimewakan. Hidupnya yang
terbatas menciptakan "kesempatan terindah dalam sejarahnya", yakni
kesempatan bagi orang lain untuk terlibat dalam kesulitan hidupnya.
Tanpa disadari, mereka pun mendewasakan orang yang normal fisik dan
jiwanya...untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mampu
mencintai.
Saudaraku,
Setelah mendengarkan penjelasanmu,
rasanya "dalam kesempatan" itu tersembunyi "kehendak bebas". Anak-anak
yang kecil, remaja, bahkan mereka yang cacat selalu menawarkan
kesempatan untuk diperhatikan dan dilayani. "Kesempatan" itu sebuah
"ruang" yang membuat orang mampu untuk ambil keputusan. Masalahnya
bagaimanakah kita menemukan "kesempatan- kesempatan" itu kalau kita
masih takut mengalami kesepian, takut ditinggalkan, masih kuatir dengan
masa depan, takut tidak ada sahabat yang menyapa lagi, takut masalah
tidak selesai, kuatir tidak lagi punya rejeki dst. Dalam kekuatiran dan
bahkan ketakutan, menghambat kita untuk melihat "dunia di luar sekitar
kita". Ada banyak orang: anak anak, remaja, orang kecil, orang lemah,
orang putus asa, orang lapar, orang tahanan, ...mereka jelaslah
menawarkan "kesempatan untuk dilayani". Kesempatan itu akan kita kenal,
kalau kita mulai belajar percaya, bahwa hidup ini milik Tuhan. Hidup
anak-anak dalam kandungan ibunya, anak balita, remaja, dan anak anak
cacat, adalah milik Tuhan. Merekapun secara pribadi , sungguh istimewa
dalam hidup Tuhan. Mereka juga adalah citra Allah, tanda kehadiran
Tuhan.
Sahabatku,
Kata-katamu meneguhkan aku! Justru karena
manusia itu citra Allah, milik Tuhan, dan hidup kita semua milik-Nya,
itulah yang menantang dan menggerakkan kehendak bebas kita untuk saling
mengasihi, bukan untuk saling menindas.
Saudaraku,
Tanpa
disadari, pertanyaanku akhirnya terjawab ya!
Tidak ada keharusan untuk
mencintai, tetapi yang ada adalah pilihan untuk "ambil keputusan
mencintai dengan kehendak yang sungguh sungguh bebas, bukan terpaksa
mencintai".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar